Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

SulSel

Harianto Albar di Gelapnya Desa dan Terangnya Impian

Di tengah gemerlap kemajuan zaman, masih ada sisi lain dari Indonesia yang terperangkap dalam kegelapan. Di sudut lereng bukit Coppo Tile, Desa Bacu-Bacu, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, listrik adalah sesuatu yang hanya ada dalam mimpi.

Penduduk yang berjumlah 1.500 jiwa terbiasa hidup dengan penerangan seadanya berupa lampu petromaks dan lilin. Penerangan ini tak cukup menerangi aktivitas malam hari, termasuk anak-anak yang belajar ditemani sinar redup dan ketidakpastian masa depan.

Bukit Coppo Tile, Desa Bacu-Bacu, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Harianto Albar, seorang mahasiswa jurusan kimia di Universitas Negeri Makassar, adalah bagian dari desa ini. Lahir dan besar di Bacu-Bacu, Harianto merasakan setiap keperihan hidup tanpa listrik.

Pekerjaan rumah tangga yang memakan waktu berjam-jam, nasi yang harus dimasak manual, serta panas yang hanya bisa diredakan oleh angin alam menjadi kenyataan sehari-hari. Namun, di balik itu semua, tekadnya untuk memajukan desanya mulai menyala. Ada secerah impian yang terpendam di hatinya.

Perjuangan dan Pengorbanan

Ketika Harianto mulai merancang ide pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, dia dihadapkan pada tembok skeptisisme. Warga desa, yang terbiasa dengan keterbatasan, meragukan mimpi besar anak muda ini.

“Bagaimana mungkin seorang pemuda tanpa latar belakang teknik listrik bisa mengubah nasib desa?” gumam beberapa orang tua dengan penuh kekhawatiran.

Namun, di sanalah letak kekuatan Harianto. Dia belajar otodidak, mengandalkan buku-buku dan internet, mencari tahu seluk-beluk pembangunan turbin, sistem aliran, dan pengoperasian generator.

Perjuangannya tak sebatas ilmu. Harianto harus mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan kenyamanan pribadinya untuk meyakinkan masyarakat.

Setiap malam, ia berkeliling ke rumah-rumah, mengajak warga bermusyawarah, mendengarkan cemoohan, tetapi tak pernah sekalipun meredupkan semangatnya. Dengan bantuan sukarela dari beberapa warga, pembangunan pun dimulai. Mereka membendung aliran sungai, memasang pipa, dan akhirnya menghubungkan generator ke jaringan kabel.

Usaha tersebut memakan biaya lebih dari 900 juta rupiah, yang sebagian besar didapatkan dari sumbangan masyarakat dan proposal bantuan ke pihak swasta. Warga desa turut mengulurkan tangan, menyisihkan Rp10.000 hingga Rp30.000 per bulan untuk perawatan.

Setiap keringat yang jatuh seolah menandai awal kebangkitan Bacu-Bacu.

Kemenangan Sang Pelopor

Bak pepatah, “Usaha tak mengkhianati hasil,” gemerlap cahaya akhirnya hadir di desa yang dulu sunyi.

Aliran air yang tak kenal lelah kini menghasilkan listrik 3 KWH, kemudian meningkat hingga 20 KWH dengan penambahan turbin-turbin baru. Desa Bacu-Bacu menjadi benderang, diselimuti senyum kebahagiaan para penduduknya.

Harianto berdiri tegak, menyaksikan rumah-rumah yang kini terang, mendengar tawa anak-anak yang belajar di bawah sinar lampu, dan merasakan kehangatan para petani yang kembali bersemangat karena listrik membuat pekerjaan mereka lebih efisien.

Perjuangannya diakui hingga skala nasional; Desa Bacu-Bacu berhasil meraih Juara 2 tingkat nasional dalam ajang Desa Mandiri 2008.

Namun, bagi Harianto, penghargaan bukanlah tujuan akhir. Dengan hati penuh tekad, dia berkata, “Bukan penghargaan yang dituju, tapi bakti untuk negeri.” Kini, ia bermimpi lebih besar: menjadikan Desa Bacu-Bacu sebagai Desa Pariwisata Energi terbaik di Indonesia.

Perjalanan Harianto mengingatkan kita bahwa cukup dengan mimpi dan visi besar, perubahan yang tak terbayangkan bisa menjadi kenyataan.

***

Penulis

Related Articles

Back to top button