Bongkar Skandal Gas PGN, Eks Dirut Inalum dan Komisaris IAE Diciduk KPK Gara-gara Uang Muka US$15 Juta

Wamanews.id, 12 April 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menambah daftar panjang tokoh penting yang tersangkut korupsi. Kali ini, lembaga antirasuah menahan dua nama besar dalam dunia korporasi energi nasional: mantan Direktur Utama PT Inalum, Danny Praditya, dan mantan Komisaris PT Inti Alasindo Energi (IAE), Iswan Ibrahim.
Keduanya ditahan terkait dugaan korupsi dalam transaksi jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE). Penahanan dilakukan usai pemeriksaan sebagai tersangka oleh tim penyidik KPK pada Jumat, 11 April 2025.
“Dilakukan penahanan terhadap tersangka ISW (Iswan Ibrahim) dan tersangka DP (Danny Praditya) di Cabang Rumah Tahanan dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Jakarta Timur selama 20 hari, terhitung mulai 11 hingga 30 April 2025,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Kasus ini bermula dari persetujuan Dewan Komisaris dan Direksi PT PGN atas Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2017 pada Desember 2016. Namun, anehnya, dalam RKAP tersebut tidak ada satu pun rencana pembelian gas dari PT IAE atau Isargas Group.
Meski demikian, atas arahan Danny Praditya selaku Dirut PGN saat itu, Head of Marketing PGN Adi Munandir menghubungi perwakilan Isargas Group untuk membicarakan kerja sama pengelolaan gas. Dari sinilah skema “uang muka” mulai disusun.
Perwakilan Isargas Group, yakni Sofyan, menyampaikan permintaan dari Iswan Ibrahim: uang muka sebesar US$15 juta untuk rencana pembelian gas. Tujuannya? Untuk melunasi berbagai utang Isargas Group dan PT IAE kepada pihak ketiga.
Danny bahkan memerintahkan pembuatan kajian internal oleh tim marketing PGN langkah yang sebenarnya di luar prosedur karena seharusnya menjadi tanggung jawab divisi pasokan gas. Tak hanya itu, dalam rapat direksi pada 10 Oktober 2017, Danny memaparkan bahwa Isargas siap menjual alokasi gas dari HCML (Husky Cnooc Madura Ltd), namun mensyaratkan pembayaran di muka.
Tanggal 7 November 2017, PT IAE mengirim invoice senilai US$15 juta. Hanya dua hari berselang, PT PGN langsung melakukan pembayaran.
Alih-alih untuk keperluan pembelian gas, dana US$15 juta tersebut digunakan untuk membayar utang Isargas Group dan PT IAE. Rinciannya: US$8 juta kepada PT Pertagas Niaga, US$2 juta ke Bank BNI, dan US$5 juta ke PT Isar Aryaguna.
Parahnya, menurut KPK, pasokan gas dari HCML yang dijanjikan ternyata tidak mencukupi dan kontraknya tidak pernah sepenuhnya berjalan. Bahkan, konsultan independen seperti PT Bahana Sekuritas dan firma hukum PT Umbra telah menyatakan bahwa Isargas Group tidak layak untuk diakuisisi sejak awal.
“Uang muka US$15 juta itu digunakan untuk utang yang tidak ada kaitannya dengan transaksi jual beli gas. Sementara Iswan tahu bahwa pasokan gas dari HCML tidak mencukupi kontrak,” ujar Asep Guntur.
Kasus ini juga sempat mendapat teguran keras dari BPH Migas dan Ditjen Migas Kementerian ESDM, sebelum akhirnya dihentikan oleh dewan komisaris PGN dengan perintah pemutusan kontrak.
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 56/LHP/XXI/10/2024, negara mengalami kerugian sebesar US$15 juta dalam transaksi ini.
Kini, kedua tersangka menjalani penahanan dalam rangka memperlancar proses penyidikan. KPK menegaskan akan mendalami peran pihak-pihak lain yang terlibat, serta potensi aliran dana mencurigakan ke korporasi maupun individu lainnya.
Kasus ini menjadi bukti bahwa korupsi di sektor energi masih menjadi persoalan serius. KPK juga mengimbau agar korporasi pelat merah lebih berhati-hati dalam melakukan kerja sama bisnis, terutama yang menyangkut sumber daya negara.