Siap-Siap, Bayar Pakai QRIS Kena Pajak PPN 12 Persen

Wamanews.id, 28 Desember 2024 – Pemerintah kini resmi menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen terhadap layanan uang elektronik, dompet digital (e-wallet), dan transaksi melalui QRIS.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa yang menjadi objek pajak bukanlah nilai top-up, saldo, atau transaksi jual beli, melainkan jasa layanan penggunaan uang elektronik atau e-wallet tersebut.
“Yang menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah biaya jasa layanan, bukan nominal top-up atau saldo. Dengan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, perhitungan pajak akan sedikit meningkat,” jelas Dwi.
Sebagai contoh, jika seorang pengguna melakukan top-up uang elektronik sebesar Rp1 juta dengan biaya top-up Rp1.500, maka sebelumnya PPN sebesar 11 persen dihitung Rp165. Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, PPN yang dikenakan menjadi Rp180, hanya bertambah Rp15.
“Artinya, perubahan tarif ini tidak secara signifikan memengaruhi total biaya, selama biaya jasa layanan tidak berubah,” tambahnya.
Selain uang elektronik dan e-wallet, layanan pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) juga dikenakan PPN. Transaksi ini termasuk dalam kategori Jasa Sistem Pembayaran. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) akan membebankan PPN berdasarkan Merchant Discount Rate (MDR) yang dikenakan kepada pemilik merchant.
“Penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru. Dasar pengenaan PPN adalah MDR yang dipungut oleh penyelenggara dari merchant. Ketentuan ini telah diatur secara rinci dalam PMK No. 69/PMK.03/2022,” terang Dwi.
Dwi menegaskan bahwa kebijakan PPN ini bukanlah objek pajak baru. Sebelumnya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital telah dikenakan PPN sebesar 11 persen sesuai peraturan yang berlaku. Perubahan tarif menjadi 12 persen adalah bagian dari penyesuaian umum yang dilakukan pemerintah.
“Kenaikan ini tidak dimaksudkan untuk memberatkan masyarakat, melainkan bagian dari penyesuaian sistem perpajakan yang bertujuan meningkatkan penerimaan negara. Sebagai pengguna, masyarakat tetap dapat menggunakan layanan dengan biaya yang relatif stabil, selama penyedia jasa tidak mengubah biaya layanannya,” jelasnya.
Meskipun kenaikan PPN ini tidak secara langsung berdampak besar pada pengguna uang elektronik dan e-wallet, merchant yang menggunakan sistem pembayaran QRIS mungkin merasakan efeknya. Sebagai pelaku usaha, mereka perlu memperhitungkan biaya tambahan ini dalam operasional sehari-hari.
Sementara itu, bagi pengguna individu, penting untuk memahami bahwa pajak ini hanya berlaku pada jasa layanan, bukan pada nominal transaksi atau saldo. Dengan demikian, kebijakan ini tidak secara langsung meningkatkan biaya yang mereka tanggung secara signifikan.
Melalui penerapan kebijakan ini, pemerintah berharap masyarakat lebih memahami mekanisme perpajakan pada sektor teknologi finansial. Direktorat Jenderal Pajak juga terus mengupayakan sosialisasi agar semua pihak, baik pengguna maupun merchant, dapat menyesuaikan diri dengan kebijakan ini tanpa kendala.
Dengan pengenaan PPN 12 persen ini, pemerintah berharap penerimaan negara dari sektor teknologi finansial dapat meningkat, sekaligus menjaga stabilitas layanan digital yang kini menjadi kebutuhan utama masyarakat modern. Kebijakan ini diharapkan berjalan beriringan dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang di Indonesia.