Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

Uncategorized

Royalti Musik di Struk Pelanggan Jadi Sorotan: Ini Dasar Hukum dan Aturan Tarifnya 

Wamanews.id, 11 Agustus 2025 – Struk pembayaran dari sebuah restoran di Jakarta baru-baru ini menjadi viral di media sosial setelah diketahui mencantumkan biaya tambahan yang tidak biasa, yaitu Royalti Musik dan Lagu” sebesar Rp29.140. 

Rincian biaya yang mengejutkan ini memicu perdebatan luas di kalangan warganet, yang mempertanyakan dasar hukum dan kewajaran dari pembebanan biaya tersebut. Meskipun banyak yang terkejut, ternyata ada dasar hukum yang kuat di balik kewajiban ini.

Dalam struk yang viral tersebut, tertera total tagihan sebesar Rp742.940, yang mencakup berbagai item makanan dan minuman seharga total Rp614.000, ditambah service charge dan pajak PB1. Biaya royalti musik dan lagu muncul sebagai item terpisah, yang mengindikasikan bahwa pihak restoran secara sengaja membebankan biaya tersebut kepada pelanggan.

Tindakan restoran ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh, melainkan sebuah respons terhadap regulasi yang berlaku. Secara hukum, penggunaan musik di tempat usaha seperti restoran, kafe, hotel, dan tempat umum lainnya, dianggap sebagai bentuk komersialisasi atas karya cipta. Oleh karena itu, para pelaku usaha tersebut memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi, atau yang dikenal sebagai royalti, kepada para pencipta lagu dan pemilik hak terkait.

Dasar hukum kewajiban ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan diperjelas melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.02/2016. Aturan ini menegaskan bahwa setiap usaha jasa kuliner yang memutar musik di tempatnya harus membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). 

Tujuannya adalah untuk memberikan penghargaan yang layak kepada para musisi, penyanyi, dan pencipta lagu yang karyanya digunakan untuk menunjang suasana tempat usaha.

Tarif resmi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk restoran, kafe, dan sejenisnya adalah Rp60 ribu per kursi per tahun untuk hak pencipta dan Rp60 ribu per kursi per tahun untuk hak terkait. Jika dijumlahkan, total kewajiban royalti untuk satu kursi dalam setahun adalah Rp120.000. Biaya ini kemudian dikumpulkan oleh LMKN dan disalurkan kepada para pemegang hak cipta dan hak terkait.

Ahmad M. Ramli, Guru Besar Kekayaan Intelektual dari Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa pembayaran royalti ini memberikan kepastian hukum yang luar biasa bagi pelaku usaha. 

“Kalau dia sudah membayar kepada Lembaga Manajemen Kolektif sesuai dengan kriteria yang ditetapkan tadi kan berdasarkan kursi dan lain-lain, maka menggunakan lagu apa pun di restorannya menjadi tidak merupakan pelanggaran,” jelasnya.

Meski kewajiban membayar royalti adalah hal yang sah, skema pembebanan langsung kepada pelanggan di struk inilah yang menjadi sorotan. Praktik ini menunjukkan bahwa pihak restoran memilih untuk memisahkan biaya operasional tersebut agar pelanggan dapat melihat rinciannya secara transparan.

Tindakan ini, meskipun memicu pro dan kontra, bukanlah hal yang ilegal. Restoran, sebagai entitas bisnis, memiliki hak untuk menentukan skema pembebanan biaya operasional, termasuk biaya royalti musik. Selama biaya ini dicantumkan secara jelas dan transparan di dalam struk, pelanggan memiliki hak untuk mengetahui rincian biaya yang mereka bayarkan.

Viralnya struk ini menjadi momentum edukasi bagi masyarakat dan pelaku usaha. Bagi konsumen, ini adalah pengingat bahwa musik yang mereka nikmati di ruang publik memiliki nilai ekonomi dan harus dihargai. Bagi pelaku usaha, ini adalah dorongan untuk mematuhi regulasi hak cipta demi mendukung keberlanjutan industri musik Indonesia.

Penulis

Related Articles

Back to top button