Prabowo Naikkan UMP 6,5% di 2025, Buruh: Tidak Logis

Wamanews.id, 1 Desember 2024 – Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% di tahun 2025 menuai protes keras dari kalangan buruh. Meski langkah ini dianggap sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan pekerja, sejumlah pihak merasa kebijakan tersebut tidak logis dan berpotensi memperburuk ketimpangan upah antar daerah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menyatakan keheranannya atas keputusan yang diumumkan secara mendadak tanpa penjelasan rinci tentang formulasi atau rumus yang digunakan untuk menentukan angka 6,5%.
Menurutnya, pengumuman angka kenaikan secara langsung tanpa melibatkan pembahasan rumus sebelumnya dapat menimbulkan kecurigaan.
“Tiba-tiba diumumkan langsung hasil angkanya, ini agak aneh. Dari mana angka 6,5% itu didapatkan?” ungkap Ristadi dalam keterangan pers pada Sabtu (30/11/2024).
Ia khawatir bahwa angka tersebut hanya akan dicocok-cocokkan dengan rumus yang sudah ada, yang pada gilirannya akan mengurangi kredibilitas dewan pengupahan yang selama ini berperan dalam menentukan angka kenaikan upah berdasarkan perhitungan yang lebih transparan dan adil. Salah satu kritik utama yang disampaikan oleh Ristadi adalah potensi meningkatnya ketimpangan upah antar daerah.
Menurutnya, dengan kenaikan UMP yang seragam sebesar 6,5%, daerah-daerah yang sudah memiliki upah minimum tinggi, seperti Karawang yang sudah mencapai sekitar Rp 5 juta, akan mengalami kenaikan yang jauh lebih besar dibandingkan daerah dengan upah yang lebih rendah, seperti Yogyakarta yang hanya memiliki upah sekitar Rp 2 juta.
Contoh konkret, jika upah di Karawang naik sekitar Rp 325.000 (6,5% dari Rp 5 juta), sementara Yogyakarta hanya akan mendapatkan kenaikan sebesar Rp 130.000 (6,5% dari Rp 2 juta), maka perbedaan upah antar daerah semakin tajam.
Ristadi menilai, kebijakan ini bisa menyebabkan ketimpangan yang semakin besar dalam pendapatan pekerja di seluruh Indonesia, terutama antara wilayah Jawa Barat yang relatif lebih maju dan wilayah lainnya yang masih berkembang.
Selain itu, penyeragaman angka kenaikan UMP ini berisiko menimbulkan ketidakmerataan dalam menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang seharusnya lebih merata di seluruh daerah.
“Kami tidak pernah mengusulkan kenaikan upah secara nasional dipukul rata, tetapi disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing,” tegasnya.
Ristadi juga menyoroti kemungkinan dampak negatif bagi sektor usaha, terutama bagi para pengusaha yang mungkin akan berpindah-pindah mencari lokasi dengan upah yang lebih rendah. Dengan ketimpangan yang semakin besar antara daerah yang memiliki upah tinggi dan rendah, pengusaha mungkin akan lebih memilih untuk membuka usaha di daerah dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah.
Hal ini, menurutnya, akan merugikan pekerja di daerah yang upah minimumnya masih rendah dan memperburuk ketimpangan ekonomi antar daerah.
Sebagai respons terhadap pengumuman tersebut, Ristadi menegaskan bahwa pihaknya akan mengambil langkah-langkah advokasi untuk memperjuangkan UMP yang lebih adil dan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Ia juga menegaskan bahwa jika perlu, serikat buruh akan mengadakan aksi unjuk rasa untuk menuntut kebijakan yang lebih berpihak pada pekerja.
“Kalau terpaksa, ya aksi unjuk rasa,” ujarnya dengan tegas.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan UMP sebesar 6,5% di 2025 memang membawa angin segar bagi sebagian pekerja, namun banyak pihak, terutama serikat buruh, yang melihatnya sebagai langkah yang tidak logis dan berpotensi menambah ketimpangan sosial-ekonomi antar daerah.
Meskipun niat pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh patut dihargai, penting untuk menyesuaikan kebijakan ini dengan kondisi lokal agar lebih adil dan merata. Konflik ini akan terus berkembang seiring dengan langkah-langkah yang diambil oleh kalangan buruh, dan bagaimana pemerintah merespons keluhan-keluhan yang ada.
Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan