Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

Wajo

Kontroversi Bendungan Paselloreng: Warga Pertanyakan Transparansi BBWS Pompengan

Wamanews.id, 4 September 2024 – Kasus pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo kembali memanas.

Sejumlah warga pemilik lahan di Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng, merasa bahwa proses studi Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP) yang dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang tidak transparan dan tidak adil dalam memastikan hak-hak mereka sebagai pemegang hak tanah terpenuhi.

Menurut Firmansyah, kuasa hukum dari warga terdampak, kegiatan LARAP ini berlangsung tanpa ada informasi atau sosialisasi yang memadai sebelumnya. Warga baru mengetahui adanya aktivitas LARAP di lahan seluas 42,97 hektar pada Agustus 2024, meskipun studi tersebut telah dimulai pada Juni 2024 dan direncanakan berlangsung hingga Oktober 2024.

Hal ini menimbulkan kecurigaan di kalangan warga bahwa hak-hak mereka tidak dihargai dalam proses pengadaan tanah ini.

Kecurigaan tersebut semakin diperkuat ketika warga mempertanyakan aktivitas LARAP ini, dan pihak BBWS Pompengan Jeneberang hanya menunjukkan surat bernomor UM.01.02/Au 10.2/64 tertanggal 21 Juni 2024 yang berisi permohonan pendampingan dalam proses tersebut. Merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, Firmansyah mengirimkan surat klarifikasi kepada BBWS pada 7 Agustus 2024.

Menanggapi surat tersebut, BBWS Pompengan Jeneberang memberikan jawaban tertulis pada 26 Agustus 2024. Namun, menurut Firmansyah, jawaban tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

Dalam surat tersebut, BBWS mengklaim bahwa mereka telah melaksanakan konsultasi masyarakat (PKM) dan menindaklanjuti hasil rapat audiensi dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Wajo pada 19 Mei 2023. Namun, warga baru diberitahu mengenai studi LARAP tersebut pada Agustus 2024, yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara klaim BBWS dan fakta di lapangan.

Firmansyah menegaskan bahwa tindakan BBWS yang tidak melibatkan warga dalam proses ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap rekomendasi rapat pada Mei 2023. Ini mencerminkan kurangnya kesadaran dan sikap hati-hati dalam mengelola proyek ini, mengingat adanya kasus korupsi sebelumnya yang melibatkan mantan Sekretaris BPN dan beberapa kepala desa di Wajo terkait dengan pengadaan tanah untuk Bendungan Paselloreng.

Menurut Firmansyah, rekomendasi rapat pada Mei 2023 seharusnya menjadi pedoman bagi BBWS untuk tidak melakukan tindakan hukum atau kegiatan apapun tanpa melibatkan warga sebagai pemilik atau pemegang hak atas tanah yang terkena dampak.

Ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, yang mengharuskan badan atau pejabat pemerintahan memberikan sosialisasi dan informasi yang memadai sebelum mengambil keputusan yang dapat berdampak pada masyarakat.

Kepala Bagian Umum dan Tata Usaha BBWS Pompengan Jeneberang, Mat Nasir, menanggapi keberatan warga dengan mengatakan bahwa tim LARAP saat ini masih bekerja, dan pendapat kuasa hukum warga adalah hal yang sah-sah saja. Namun, ia menekankan bahwa tim LARAP bekerja secara independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.

Lebih lanjut, kasus ini mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Wajo, yang membentuk tim independen untuk melakukan verifikasi faktual atas lahan warga yang terkena dampak pembangunan bendungan. Verifikasi tersebut dilakukan pada September 2022, dan ditemukan adanya perbedaan data antara calon penerima ganti rugi dengan fakta di lapangan.

Misalnya, pada bidang tanah dengan NIB: 02337 di Desa Arajang, jumlah tanaman yang tercatat sebelum verifikasi adalah 5.174 pohon, namun setelah verifikasi, jumlahnya hanya 2.037 pohon, menunjukkan adanya selisih yang signifikan.

Hasil verifikasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ada ketidaksesuaian data yang dapat merugikan warga dalam proses ganti rugi. Pertemuan lebih lanjut pada Mei 2023 dihadiri oleh berbagai pihak termasuk BBWS, BPN/ATR Wajo, dan Pemerintah Kabupaten Wajo. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa studi LARAP harus dilakukan terhadap lahan seluas 42,97 hektar.

Dengan perkembangan ini, warga berharap agar proses LARAP dapat dilaksanakan dengan transparan dan adil, serta mempertimbangkan hak-hak mereka sebagai pemilik lahan. Kasus ini menunjukkan pentingnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam setiap tahap pengadaan tanah untuk proyek-proyek besar seperti pembangunan bendungan.

Keberlanjutan proyek ini akan sangat tergantung pada bagaimana BBWS dan pihak terkait lainnya menanggapi keluhan dan keberatan warga secara adil dan transparan.

Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan

Related Articles

Back to top button