Guru Ngaji di Tebet Cabuli 10 Santri Perempuan Usia SD, Modus Ajaran Agama!

Wamanews.id, 30 Juni 2025 – Kabar mengejutkan dan memilukan datang dari Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Sebanyak 10 anak di bawah umur menjadi korban pencabulan oleh seorang guru mengaji berinisial AF (54).
Yang lebih memprihatinkan, seluruh korban adalah perempuan dengan rentang usia yang sangat rentan, yakni antara 9 hingga 12 tahun. Oknum guru mengaji ini telah ditangkap pihak kepolisian pada Sabtu (28/6/2025) lalu.
Terungkapnya kasus ini menambah daftar panjang kejahatan seksual yang melibatkan figur kepercayaan, khususnya di lingkungan pendidikan agama. Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Citra Ayu, membenarkan detail mengerikan ini.
“Untuk semua korban sejauh ini perempuan,” kata Ayu kepada wartawan di Jakarta, Senin. Ia menambahkan, usia para korban yang masih sangat belia, berkisar antara 9 hingga 12 tahun, menunjukkan betapa rentannya mereka terhadap predator.
Modus operandi yang digunakan oleh guru ngaji berinisial AF ini sungguh licik dan memanfaatkan kepolosan serta kepercayaan para santrinya. Kepolisian mengungkapkan bahwa AF menggunakan dalih mengajar hadas materi terkait ritual bersuci dalam Islam sebagai cara untuk melancarkan aksi bejatnya.
Modus semacam ini sangat berbahaya karena menodai makna sakral dari pendidikan agama dan memanfaatkan kepercayaan anak serta orang tua. Para korban, yang datang untuk menimba ilmu agama, justru menjadi target kejahatan seksual yang merusak jiwa mereka.
AKP Citra Ayu juga menekankan bahwa meskipun hasil visum pada para korban menunjukkan tidak adanya bekas luka fisik yang mencolok, dampak kejahatan ini jauh lebih dalam dan merusak.
“Karena kan memang tidak ada bekas langsung, tapi memang bekasnya itu adalah di kondisi mental dan psikologis anak-anak tersebut,” sambungnya. Ini adalah ciri khas kejahatan seksual pada anak, di mana luka fisik mungkin samar atau tidak ada, namun trauma psikologis yang ditimbulkannya bisa bertahan seumur hidup.
Anak-anak korban pencabulan cenderung mengalami berbagai masalah kejiwaan, seperti kecemasan berlebihan, depresi, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), kesulitan tidur, hingga masalah kepercayaan pada orang dewasa. Mereka mungkin juga mengalami penurunan prestasi di sekolah, menarik diri dari lingkungan sosial, atau menunjukkan perubahan perilaku yang drastis.
Penanganan trauma ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan dukungan profesional yang intensif. Merespons kondisi para korban, kepolisian telah memastikan bahwa seluruh korban sudah dilakukan visum sebagai bagian dari proses hukum, serta mendapatkan pendampingan psikologis.
Pendampingan ini sangat vital untuk membantu anak-anak memulihkan diri dari trauma dan mencegah dampak jangka panjang yang lebih parah. Tim psikolog akan bekerja sama dengan keluarga korban untuk memberikan dukungan yang komprehensif.
Penangkapan AF dilakukan setelah laporan dari orang tua korban diterima dan penyelidikan awal mengindikasikan adanya perbuatan cabul. Meskipun untuk sementara jumlah santri yang menjadi korban terdata sebanyak 10 orang, pihak kepolisian tidak menutup kemungkinan adanya korban lain.
Hal ini karena seringkali korban kejahatan seksual, terutama anak-anak, cenderung takut atau merasa malu untuk berbicara, sehingga jumlah sebenarnya bisa lebih banyak dari yang terungkap di awal.
Polres Metro Jakarta Selatan terus melakukan penyelidikan mendalam untuk mengungkap seluruh fakta di balik kasus ini, termasuk mencari tahu apakah ada pihak lain yang terlibat atau mengetahui perbuatan AF namun tidak melapor.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh elemen masyarakat untuk lebih waspada dan proaktif dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual, terutama di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman dan mendidik. Peran serta orang tua, lembaga pendidikan, dan komunitas sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar aman bagi anak-anak.
 
					 
					

 
					




