Cahaya dari Timur: As’adiyah Wajo, Benteng Keilmuan yang Terus Melahirkan Tokoh Bangsa di Hari Santri 2025

Wamanews.id, 24 Oktober 2025 – Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia kembali diingatkan akan peran vital para kiai dan santri dalam perjuangan kemerdekaan. Peringatan Hari Santri 2025, yang mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” bukan sekadar seremonial, melainkan amanah untuk terus merawat kemerdekaan dengan ilmu, iman, dan akhlak.
Di tengah refleksi ini, sorotan tertuju pada salah satu mercusuar ilmu dari Timur Indonesia: Pondok Pesantren As’adiyah. Peringatan Hari Santri berakar dari Resolusi Jihad KH.
Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang menyerukan kewajiban umat Islam mempertahankan Republik Indonesia. Dari sanalah lahir perjuangan santri yang tak hanya fisik, melainkan juga spiritual dan intelektual, menjadikan pesantren benteng nilai-nilai kebangsaan.
Dari kawasan Timur Indonesia, tepatnya di Sengkang, Kabupaten Wajo, berdiri sebuah pesantren besar yang telah menorehkan sejarah panjang dalam dunia pendidikan Islam: Pondok Pesantren As’adiyah. Didirikan oleh Anregurutta Haji Muhammad As’ad (1907–1952) pada dekade 1930-an, As’adiyah hadir sebagai oase ilmu dan moralitas di tengah keterbatasan masa kolonial.
Di tangan Anregurutta As’ad, pesantren ini bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan kebangsaan. Dari tepi Sungai Walennae, semangat keilmuan As’adiyah mengalir deras, melahirkan ulama, pendidik, dan pemimpin yang menerangi berbagai penjuru Nusantara, dari Sulawesi hingga Maluku, Kalimantan, dan Papua.
Sejarah panjang As’adiyah terus berlanjut hingga hari ini, dengan melahirkan kader bangsa yang berkiprah di berbagai bidang. Salah satu putra terbaiknya adalah Nasaruddin Umar, yang kini menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Nasaruddin Umar adalah sosok yang tumbuh dalam tradisi keilmuan pesantren, memadukan keluasan ilmu tafsir dengan pandangan keislaman yang moderat dan berkemajuan.
Kiprahnya menjadi bukti nyata bahwa pesantren seperti As’adiyah mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya alim dalam agama, tetapi juga bijak dalam mengelola kebinekaan dan kebangsaan. Warisan keilmuan yang diwariskan Anregurutta As’ad kini menjelma menjadi energi intelektual bangsa, melintasi ruang politik, pendidikan, dan sosial.
Sebagai alumni yang membawa semangat keas’adiyahan, Nasaruddin Umar menekankan tiga arah besar di bawah kepemimpinannya di Kementerian Agama:
- Penguatan moderasi beragama sebagai fondasi kebangsaan.
- Transformasi pendidikan Islam agar pesantren dan madrasah siap menghadapi era global.
- Pemberdayaan ekonomi santri dan pengembangan digitalisasi pesantren.
Dalam beberapa tahun terakhir, geliat keilmuan santri kembali tampak melalui kegiatan Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) dan Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN). Ajang ini bukan sekadar lomba baca kitab kuning, melainkan ruang pertemuan intelektual antara tradisi klasik Islam dan tantangan zaman modern.
Melalui MQK, santri As’adiyah dan ribuan santri lainnya dari seluruh Indonesia menunjukkan bahwa kitab kuning masih hidup. Tidak hanya dibaca, tetapi juga ditafsirkan, dikontekstualisasi, dan dijadikan pedoman berpikir di era digital. Sukses penyelenggaraan MQKI dan MQKN menjadi simbol bahwa tradisi pesantren bukan milik masa lalu, tetapi bekal masa depan.
Mengawal Indonesia Merdeka bukan sekadar menjaga simbol, tetapi memastikan agar semangat kemerdekaan tetap berjiwa berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan. Santri hari ini dituntut untuk terus mengawal kemerdekaan melalui keilmuan, inovasi, dan keteladanan moral.
Pesantren seperti As’adiyah telah memberi teladan bahwa kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada ekonomi dan politik, tetapi juga pada akhlak dan kecerdasan spiritual. Dari ruang-ruang belajar yang sederhana, para santri ditempa menjadi manusia yang berdaya saing global, tanpa kehilangan akar kearifan lokal.
Dari Sengkang, nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin mengalir melintasi batas-batas geografis. As’adiyah menjadi bukti bahwa cahaya dari Timur bukan hanya menerangi Nusantara, tetapi juga menyinari peradaban dunia, menuntun bangsa menuju peradaban yang beradab.







