Buruh Menggugat 9 Poin UU Cipta Kerja ke MK, Berharap 4 Poin Utama Dikabulkan
Sekelompok serikat buruh mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 9 poin yang mereka gugat, serikat buruh berharap setidaknya 4 poin dapat dikabulkan.
“Dari 9 poin tersebut, minimal 4 harus diterima, yaitu mengenai upah, outsourcing, PHK, dan pesangon. Dengan begitu, kita bisa mengurangi tekanan penindasan terhadap kaum buruh,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2024).
Said menjelaskan bahwa sidang lanjutan hari ini bertujuan untuk meminta keterangan dari saksi ahli. Ia menyebutkan dua poin awal yang mereka gugat yaitu outsourcing seumur hidup dan karyawan kontrak tanpa batas waktu.
Poin ketiga yang digugat adalah penolakan terhadap upah murah. Mereka berpendapat bahwa kenaikan gaji sebesar 1,58% tidak sebanding dengan inflasi sebesar 2,8%. Poin keempat, mereka menolak kemudahan dalam pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kami tidak setuju dengan PHK yang dipermudah. UU Cipta Kerja seharusnya untuk menyerap tenaga kerja, namun faktanya banyak terjadi PHK,” katanya.
Poin kelima, buruh menolak aturan pemberian pesangon dalam UU Cipta Kerja yang dianggap lebih rendah dibandingkan aturan sebelumnya. Said mengatakan seseorang yang telah bekerja selama 30 tahun bisa saja hanya menerima pesangon sebesar Rp 20 juta.
“Pada UU 13/2003, pesangon itu dua kali lipat. Sekarang hanya setengahnya. Oleh karena itu, PHK menjadi mudah dilakukan,” ucapnya.
Poin keenam, buruh menggugat tidak adanya kepastian upah bagi buruh perempuan yang mengambil cuti haid atau cuti melahirkan.
“UU 13/2003 memberikan kepastian hukum bahwa upah dibayar penuh. Sekarang, pengusaha boleh tidak membayar upah saat buruh perempuan cuti melahirkan. Apalagi jika cuti selama 6 bulan, upah hanya dibayar 75%, tanpa kepastian,” jelasnya.
Poin ketujuh, buruh menuntut pengendalian tenaga kerja asing. Kedelapan, mereka menggugat penghapusan hak istirahat cuti panjang.
“Sesuai UU 13/2003, setelah 2 tahun bekerja, semua pekerja berhak mendapatkan cuti 2 bulan. Namun, hak ini dihapus dalam UU Cipta Kerja. Akibatnya, buruh harus terus bekerja tanpa istirahat panjang,” ujarnya.
Poin kesembilan, buruh menyoroti beberapa sanksi pidana yang dihapus. Mereka menuntut agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang dianggap lebih berbahaya daripada UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
“Kita merasakan kenaikan gaji hanya 1,58% sementara inflasi 2,8%. Pegawai negeri, TNI, dan Polri mendapatkan kenaikan 8%. Mengapa kita hanya diberi 1,58%? Cuti kita dihilangkan. Oleh karena itu, kita ingin memastikan ancaman ini lebih berat dari isu Tapera, JHT, dan isu perburuhan lainnya. PHK dipermudah,” tegasnya.