Anak Muda Indonesia Malas Menikah, Pilih Karier dan Keuangan Stabil Saja
Wamanews.id, 2 November 2024 – Fenomena malas menikah semakin menjadi perhatian di Indonesia, dengan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan jumlah perkawinan secara signifikan dalam enam tahun terakhir.
Namun, penurunan paling drastis terjadi dalam tiga tahun terakhir, di mana angka pernikahan menyusut hingga 2 juta dari tahun 2021 hingga 2023. Kondisi ini mengundang berbagai spekulasi dan analisis dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (KPK) Wihaji menyampaikan dugaan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama di balik fenomena ini. Banyak anak muda yang merasa cemas dengan masa depan mereka, terutama dalam konteks ketidakstabilan ekonomi yang saat ini melanda banyak negara, termasuk Indonesia.
“Banyak dari mereka yang merasa belum siap secara finansial untuk memikul tanggung jawab sebagai suami atau istri. Kekhawatiran ini membuat mereka lebih memilih untuk fokus pada karier terlebih dahulu,” papar Wihaji.
Kekhawatiran tersebut dapat dimengerti, mengingat tantangan ekonomi yang dihadapi saat ini. Banyak generasi muda yang merasa tekanan untuk mencapai stabilitas keuangan sebelum memutuskan untuk menikah dan berkeluarga.
“Mereka berpikir, ‘bagaimana jika saya tidak bisa menyekolahkan anak-anak saya? Bagaimana jika saya tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga?'” jelasnya. Rasa takut ini, menurut Wihaji, sering kali menjadi penghalang bagi mereka untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Selain faktor ekonomi, Wihaji juga menyoroti kekhawatiran di kalangan perempuan tentang dampak pernikahan terhadap karier mereka. Banyak wanita yang merasa bahwa menikah dapat menghambat kesempatan mereka untuk bekerja dan berkarier.
“Ada banyak wanita yang enggan menikah karena mereka khawatir akan kehilangan peluang untuk bekerja setelah berumah tangga,” tambahnya. Hal ini menciptakan dilema bagi banyak wanita muda yang ingin berkontribusi di dunia kerja sekaligus ingin berkeluarga.
Menariknya, fenomena malas menikah ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di tingkat global, negara-negara lain seperti Korea Selatan dan China juga mengalami tren serupa. Di Korea Selatan, sebuah penelitian yang dirilis oleh Statistics Korea menunjukkan bahwa hanya 27,5 persen wanita muda berusia 20-an tahun yang bersedia menikah. Ini menandakan bahwa hanya satu dari empat wanita muda di sana yang ingin berkomitmen dalam pernikahan.
Sementara itu, di China, gaya hidup lajang semakin populer di kalangan masyarakat. Hal ini juga dipicu oleh faktor ekonomi dan ketidakpastian masa depan, di mana banyak individu menunda atau bahkan menghindari pernikahan dan memiliki anak. Sejumlah analis mengingatkan bahwa China berisiko mengalami penurunan populasi yang signifikan jika fenomena ini terus berlanjut.
Penurunan angka pernikahan ini memiliki implikasi jangka panjang yang serius bagi masyarakat. Ketidakstabilan angka pernikahan dapat berdampak pada pertumbuhan populasi dan struktur demografi. Jika tren ini berlanjut, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap pembangunan sosial dan ekonomi di masa depan.
Kekhawatiran mengenai menurunnya angka pernikahan juga dapat memengaruhi perekonomian, karena banyak sektor, seperti industri pernikahan, perumahan, dan pendidikan, bergantung pada pertumbuhan populasi dan keluarga baru.
Dalam jangka panjang, penurunan ini dapat memperlebar jurang antara generasi muda dan generasi tua, menciptakan tantangan baru dalam mendukung kesejahteraan sosial.
Dalam menghadapi fenomena malas menikah ini, pemerintah dan masyarakat perlu mencari solusi yang tepat untuk mendukung generasi muda dalam mengambil langkah menuju pernikahan. Peningkatan stabilitas ekonomi, pemberian informasi yang jelas tentang pernikahan, dan dukungan bagi individu dan pasangan muda bisa menjadi langkah awal untuk mengatasi kekhawatiran mereka.
Dengan demikian, penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa menikah bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan komitmen jangka panjang yang memerlukan persiapan dan kesiapan dari kedua belah pihak.
Kesadaran dan dukungan dari pemerintah serta masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi generasi muda untuk melangkah ke jenjang pernikahan dengan keyakinan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan