Tokyo Tobat ‘Kerja Keras Bagai Kuda’, Pemerintah: Harus Work Life Balance
Wamanews.id, 7 Desember 2024 – Tokyo, ibu kota Jepang yang dikenal dengan etos kerja warganya yang sangat tinggi, kini tengah mengembangkan strategi ambisius untuk mengatasi krisis kependudukan yang semakin mendalam.
Di tengah penurunan angka kelahiran yang mengkhawatirkan, kota ini berencana mengimplementasikan kebijakan pemotongan hari kerja bagi staf pemerintah sebagai bagian dari dorongan nasional untuk meningkatkan tingkat kelahiran.
Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, mengungkapkan rencana untuk memperkenalkan kebijakan empat hari kerja seminggu bagi pegawai negeri di ibu kota. Kebijakan ini bertujuan untuk memberi orang tua, terutama ibu yang bekerja, lebih banyak waktu untuk merawat anak-anak mereka dan mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga.
Koike menyebutkan, “Ketertinggalan dalam pemberdayaan perempuan adalah masalah yang sudah lama ada di Jepang. Mengatasi status quo ini adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan beragam.”
Rencana ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi beban rumah tangga yang sering kali dipikul oleh ibu bekerja, termasuk membesarkan anak dan merawat anggota keluarga yang lebih tua. Banyak pihak meyakini bahwa faktor ini menjadi penyebab utama rendahnya angka kelahiran di Jepang, di mana ibu yang bekerja kerap merasa terjepit antara tuntutan pekerjaan dan kewajiban rumah tangga.
Mulai April mendatang, staf pemerintah di Tokyo, kecuali mereka yang bekerja dengan shift, akan memiliki pilihan untuk mengambil cuti hingga tiga hari dalam seminggu. Meskipun demikian, mereka tetap diwajibkan untuk menyelesaikan 155 jam kerja dalam sebulan.
Kebijakan ini juga menawarkan fleksibilitas jam kerja bagi orang tua yang merawat anak kecil, memungkinkan mereka untuk mempersingkat hari kerja mereka hingga dua jam.
Meskipun praktik pekan kerja empat hari masih terbilang langka di Jepang, beberapa pemerintah daerah mulai mengadopsi kebijakan serupa sebagai langkah untuk memberikan dukungan lebih bagi orang tua. Dalam hal ini, Tokyo menjadi salah satu kota besar yang terdepan dalam merumuskan kebijakan progresif untuk mengatasi masalah kependudukan.
Kebijakan ini muncul di tengah tantangan besar yang dihadapi Jepang, di mana populasi yang semakin menua telah mengalami penurunan selama 15 tahun berturut-turut. Tokyo sendiri merupakan kota dengan populasi tertua kedua di dunia setelah Monako, dan ketatnya peraturan imigrasi membuat kota ini semakin kekurangan tenaga kerja.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba menggambarkan krisis kelahiran ini sebagai “darurat yang tenang,” dan berjanji untuk terus mendorong kebijakan fleksibel, termasuk jam kerja yang lebih longgar, untuk mendukung orang tua muda agar mereka lebih mudah memiliki anak.
Dengan langkah inovatif ini, Tokyo berharap dapat memperbaiki kualitas hidup warganya sekaligus meningkatkan angka kelahiran yang semakin menurun. Pemerintah Tokyo juga berencana mengajukan proposal tentang jam kerja fleksibel kepada majelis Tokyo pada tahun depan untuk memperkuat dukungan terhadap kebijakan ini.