Kepala Dinas Perindakop Halmahera Barat Pukul Pendemo

Wamanews.id, 10 Januari 2025 – Tindakan kekerasan yang dilakukan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Perindakop) Halmahera Barat, Maluku Utara, Demisiis O Baku, terhadap seorang warga yang tengah melakukan aksi unjuk rasa menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Salah satu sorotan datang dari anggota Komisi III DPR RI, Benny K Harman, yang menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap insiden ini.
Dalam keterangannya di media sosial X, Benny menyatakan bahwa tindakan kekerasan tersebut tidak mencerminkan cara penyelesaian masalah di negara yang modern dan beradab. “Di negara modern mestinya kita pake otak untuk selesaikan masalah, bukan pake otot,” tulisnya pada Kamis (9/1/2025).
Ia juga menilai bahwa kejadian ini menggambarkan kondisi hukum yang semakin memprihatinkan di Indonesia.
“Hukum rimba yang berlaku di mana-mana. Kita prihatin,” ujarnya. Benny bahkan mempertanyakan situasi hukum di Indonesia saat ini. “Apa yang sedang terjadi di negara kita ini?” tanyanya retoris, mengundang perhatian publik terhadap masalah penegakan hukum.
Insiden ini terjadi pada Rabu (8/1/2025), ketika seorang warga bernama Hardi Jafar alias Don Joao melakukan unjuk rasa di kantor Disperindagkop Halmahera Barat untuk menyampaikan aspirasi mengenai kelangkaan minyak tanah di daerah tersebut. Dalam sebuah video berdurasi satu menit yang beredar di media sosial, terlihat Demisiis O Baku memukul Hardi saat keduanya sedang berkomunikasi di kantor itu.
Tindakan ini menjadi sorotan karena dilakukan oleh seorang pejabat publik yang seharusnya menjaga ketertiban dan menjadi panutan bagi masyarakat. Pemukulan tersebut dianggap tidak hanya melanggar norma sosial tetapi juga mencoreng citra pemerintahan di mata masyarakat.
Setelah insiden tersebut, Demisiis bersama salah satu stafnya, Ridson alias Soni Boky, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Halmahera Barat. Kapolres Halmahera Barat, AKBP Erlichson Pasaribu, mengungkapkan bahwa kasus ini telah dinaikkan ke tahap penyidikan setelah dilakukan pemeriksaan intensif dan gelar perkara.
“Keduanya dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 170 ayat 1 subsider Pasal 351 ayat 1 junto Pasal 55 ayat 1 KUHP,” jelas Erlichson.
Ancaman hukuman untuk pasal pengeroyokan berkisar antara 5 hingga 6 tahun penjara, sementara untuk penganiayaan ancamannya mencapai 2 hingga 3 tahun penjara.
Insiden ini memicu reaksi keras dari masyarakat yang mengecam tindakan kekerasan tersebut. Banyak yang menuntut agar hukum ditegakkan secara adil tanpa pandang bulu, terutama terhadap pejabat publik yang terlibat dalam tindak kriminal.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas sebagai pejabat negara. Publik berharap bahwa proses hukum berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi korban, sekaligus menjadi pelajaran bagi pejabat lainnya agar menjunjung tinggi etika dan hukum dalam menjalankan tugasnya.
Dengan terus menguatnya sorotan terhadap insiden ini, masyarakat menantikan langkah tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa tindakan kekerasan seperti ini tidak terulang di masa depan. Penegakan hukum yang konsisten menjadi kunci untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap institusi negara.