Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

News

Royalti Musik Bikin Cemas UMKM, Anggota DPR Minta Skema Aturan Diatur Ulang

Wamanews.id, 8 Agustus 2025 – Isu seputar royalti musik kembali memicu keresahan di kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menanggapi kekhawatiran ini, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Evita Nursanty, mendesak pemerintah dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk segera meninjau ulang skema pemungutan royalti musik yang berlaku saat ini. 

Menurut Evita, aturan tersebut menciptakan kecemasan alih-alih kesadaran, dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

“Banyak pelaku usaha kreatif seperti pemilik kafe kecil, penyanyi lepas, hingga penyelenggara acara lokal takut tiba-tiba dikenai royalti tanpa pemahaman yang jelas. Ini bisa menghambat kreativitas dan usaha kecil yang seharusnya kita dukung,” ujar Evita dalam keterangannya, Kamis, 7 Agustus 2025. 

Ia menilai, penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) seharusnya mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi yang ada, terutama bagi pelaku usaha kecil dan informal yang tengah berjuang di tengah situasi ekonomi yang sulit.

Evita secara tegas menyoroti pendekatan “satu tarif untuk semua” yang dinilai tidak adil. Ia berpendapat, tidak seharusnya kafe kecil yang hanya memutar lagu dari radio atau musisi jalanan disamakan dengan event organizer skala besar atau media komersial yang mendapatkan keuntungan signifikan dari penggunaan musik. “Pendekatan satu tarif untuk semua tidak adil. 

UMKM adalah tulang punggung ekonomi, harus ada keberpihakan,” tegasnya. Ia menambahkan, perbedaan perlakuan ini diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil dan mendukung pertumbuhan usaha kecil.

Salah satu akar masalah yang disoroti oleh Evita adalah minimnya sosialisasi dari pihak LMKN. “Banyak pelaku usaha kecil belum paham prosedur pendaftaran, tarif, dan siapa saja yang berhak memungut royalti. 

Akibatnya yang muncul bukan kesadaran, melainkan rasa takut,” jelasnya. Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Isu royalti musik memang kembali memanas setelah penegakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memicu keresahan yang meluas.

Sejumlah kafe di berbagai daerah, yang merasa khawatir akan didenda atau dilaporkan, bahkan memilih untuk berhenti memutar lagu dan menggantinya dengan suara alam atau kicau burung. Namun, ketakutan terbesar muncul setelah kasus yang menimpa gerai Mie Gacoan di Bali. Waralaba tersebut dilaporkan oleh LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) atas dugaan pelanggaran hak cipta. 

Kasus ini berujung pada penetapan pemegang lisensi waralaba sebagai tersangka. Insiden ini sontak menjadi sorotan dan memicu kekhawatiran mendalam di kalangan pelaku usaha, terutama yang memiliki skala kecil. Mereka khawatir akan bernasib serupa, meskipun penggunaan musik di tempat mereka bersifat incidental dan tidak komersial.

Evita mengingatkan, kewajiban membayar royalti untuk lagu yang diputar secara langsung tanpa rekaman atau komersialisasi produk berpotensi menimbulkan keresahan yang tidak perlu. 

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan intervensi dengan meninjau ulang aturan yang ada, menjamin sosialisasi yang lebih masif, dan menciptakan skema yang lebih adil, transparan, serta berkelanjutan bagi semua pihak, terutama para pelaku UMKM.

Penulis

Related Articles

Back to top button