Gaji Puluhan Juta Tapi Masih Pakai Paylater? Ini Alasan Mengejutkan Anak Muda Singapura!

Wamanews.id, 18 April 2025 – Saat mendengar kata paylater, kebanyakan orang akan langsung mengaitkannya dengan solusi keuangan bagi mereka yang bergaji pas-pasan. Namun, fenomena mengejutkan justru terjadi di Singapura. Anak-anak muda di negara maju ini, termasuk yang bergaji tinggi hingga puluhan juta rupiah per bulan, justru menjadi pengguna aktif layanan buy now, pay later ini.
Mengutip laporan dari Channel News Asia (CNA) dan hasil survei bersama dengan Institute of Policy Studies (IPS), sebanyak 7 dari 10 anak muda Singapura diketahui pernah menggunakan layanan paylater. Tidak hanya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, tapi juga mereka yang berpenghasilan tinggi—bahkan hingga SGD 10.000 atau sekitar Rp128 juta per bulan!
Dalam survei tersebut, partisipan berusia antara 21 hingga 39 tahun menjadi fokus utama. Hasilnya mengejutkan: 65,4% responden mengaku pernah memakai layanan paylater, baik itu melalui e-commerce maupun aplikasi fintech.
Yang lebih menarik, kelompok usia 30–34 tahun adalah pengguna terbanyak, yakni sebesar 72,3%. Disusul oleh mereka yang berusia 21–24 tahun, sebesar 53,2%.
Leon Tan, salah satu responden berusia 32 tahun dengan penghasilan SGD 10.000, mengaku rutin menggunakan layanan seperti SPayLater dari Shopee dan Atome. Alasannya? Bukan karena tidak mampu bayar, tetapi karena ingin menghemat pengeluaran di masa kini.
“Satu dolar hari ini nilainya lebih tinggi dibanding satu dolar di masa depan. Jadi kenapa tidak manfaatkan paylater, apalagi kalau tanpa bunga?” ujar Leon.
Menurut Dr. Teo Kay Key, peneliti dari IPS, mereka yang berpenghasilan tinggi biasanya memiliki lebih banyak likuiditas dan merasa lebih aman menggunakan utang jangka pendek. Dengan kata lain, utang bukanlah hal yang tabu bagi kalangan ini.
“Kalau punya aliran pendapatan stabil dan tabungan aman, paylater justru dianggap strategi cerdas,” kata Dr. Key.
Berbeda dengan masyarakat berpenghasilan rendah yang mungkin menggunakan paylater karena keterbatasan dana, kaum muda bergaji besar di Singapura justru memanfaatkannya sebagai bagian dari manajemen keuangan modern.
Fenomena ini tak lepas dari kenyataan pahit bahwa biaya hidup di Singapura kian melonjak. Survei mencatat, 92,6% responden merasakan dampak langsung dari inflasi. Generasi muda, khususnya yang berusia 21–24 tahun, menjadi kelompok paling terdampak.
Sebagian besar dari mereka belum bekerja secara penuh waktu atau baru saja mulai merintis karier. Pendapatan terbatas dan minimnya tabungan menjadi alasan utama mereka menjajal paylater.
“Harga barang naik terus, tapi gaji nggak secepat itu naiknya,” ujar salah satu responden muda.
Ada benang merah yang menarik dari data survei ini. Baik anak muda berpenghasilan tinggi maupun rendah, sama-sama menggunakan paylater bukan semata karena “terpaksa”, melainkan karena melihatnya sebagai opsi fleksibel dalam mengelola arus kas pribadi.
Namun, tak bisa dimungkiri bahwa gaya hidup modern juga jadi faktor pendorong. Tekanan sosial untuk tampil stylish, memiliki gadget terbaru, hingga nongkrong di tempat hits, membuat paylater menjadi semacam “jembatan” antara keinginan dan kemampuan finansial saat ini.
Fenomena ini bisa menjadi cerminan juga bagi anak muda di Indonesia. Di tengah kemudahan akses layanan keuangan digital, penggunaan fasilitas seperti paylater harus disertai dengan kesadaran finansial yang matang. Sebab, salah sedikit, justru bisa terjebak dalam lingkaran utang konsumtif.
Jadi, gaji besar bukan jaminan bebas dari paylater. Yang penting, bagaimana cara memanfaatkannya secara bijak. Kalau anak muda bergaji Rp128 juta saja masih pakai paylater, kamu kapan?





