Unhas Jadi Sorotan Karena DO Mahasiswa
Wamanews.id, 29 November 2024 – Universitas Hasanuddin (Unhas) kembali menjadi sorotan publik setelah secara resmi memberhentikan Alief Gufran, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), dengan tidak hormat.
Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Rektor Nomor: 13527/UN4.1/KEP/2024, berdasarkan rekomendasi Majelis Kode Etik. Namun, di balik keputusan ini, muncul polemik mengenai ketegasan kampus dalam menangani pelanggaran lainnya, seperti kasus kekerasan seksual.
Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa, menjelaskan bahwa Alief diberhentikan karena melanggar Peraturan Rektor tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus.
“Pelanggaran ini mencemarkan nama baik institusi dan bertentangan dengan norma kehidupan kampus. Langkah ini diambil untuk menjaga suasana akademik yang kondusif dan nama baik universitas,” ujar Prof. Jamaluddin.
Kasus yang menimpa Alief mencakup dua tuduhan utama:
- Tindakan Tidak Sopan dalam Forum Mahasiswa
Alief dituduh bertindak tidak sopan ketika memprotes aturan jam malam dalam Forum Temu Mahasiswa Ilmu Budaya (FTMI). Namun, ia menolak tuduhan ini, mengklaim bahwa aksinya adalah bentuk kritik yang seharusnya diterima sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. - Dugaan Konsumsi Minuman Keras
Petugas keamanan kampus melaporkan Alief atas dugaan konsumsi minuman keras. Ia mengaku telah meminta maaf atas insiden tersebut, namun merasa bahwa sanksi pemberhentian terlalu berat dan kurang transparan.
Merespons pemecatannya, Alief menyebut keputusan tersebut sebagai tindakan yang penuh kejanggalan prosedural. Ia menyoroti minimnya waktu untuk mengajukan banding dan proses pengambilan keputusan yang dianggapnya tertutup.
“Unhas, yang disebut sebagai kampus terbaik di Makassar, kini menunjukkan tanda-tanda aneh. Kasus kekerasan seksual tidak mendapatkan perhatian serius, tetapi saya diberhentikan karena tuduhan yang tidak jelas,” ungkap Alief dengan nada kritis.
Alief juga membandingkan kasusnya dengan pelanggaran lain yang hanya berujung pada sanksi ringan. “Pelaku kekerasan seksual hanya dihukum tiga semester, sedangkan saya dipecat. Ini adalah alarm bagi kita semua,” ujarnya.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan mahasiswa tentang prioritas kampus dalam menegakkan aturan. Polemik ini semakin mencuat ketika Alief mengaitkannya dengan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.
Beberapa pelaku, menurutnya, hanya mendapatkan hukuman berupa penangguhan studi selama tiga semester, sebuah sanksi yang dianggap terlalu ringan mengingat beratnya pelanggaran.
“Kampus ini harusnya menjadi tempat aman bagi semua. Tapi nyatanya, pelaku kekerasan seksual seolah dilindungi, sedangkan saya menjadi martir,” tambah Alief.
Ia mengajak mahasiswa lainnya untuk bersuara melawan kebijakan yang dinilai tidak adil, menekankan bahwa suara mahasiswa adalah kekuatan utama untuk menghadapi dugaan intimidasi. Kasus ini memicu reaksi beragam dari mahasiswa Unhas dan publik.
Sebagian mendukung langkah tegas kampus untuk menegakkan tata tertib, sementara yang lain mengkritik standar ganda dalam penerapan sanksi. Mahasiswa menyuarakan keprihatinan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang dianggap lamban dan kurang serius.
“Pemecatan Alief mungkin sudah sesuai aturan, tapi kita juga butuh keadilan yang sama dalam kasus lain, terutama kekerasan seksual,” ujar salah satu mahasiswa yang enggan disebutkan namanya.
Polemik ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi institusi pendidikan tinggi dalam menegakkan aturan tanpa mengorbankan prinsip keadilan. Kasus Alief Gufran menjadi pengingat bahwa transparansi, konsistensi, dan keberpihakan kepada korban adalah hal yang harus diutamakan dalam setiap kebijakan.
Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan