Bukan Asli Bangsawan, Gelar “Andi” Ternyata Ciptaan Misionaris Belanda

Wamanews.id, 12 September 2025 – Di tengah masyarakat Bugis-Makassar, gelar “Andi” di depan nama seseorang seringkali identik dengan keturunan bangsawan dan status sosial yang tinggi. Bahkan, dalam tradisi pernikahan, gelar ini kerap menjadi penentu besarnya nominal uang panai’ atau mahar. Namun, di balik pengakuan sosial yang melekat, tersimpan sebuah fakta sejarah yang mengejutkan: gelar “Andi” bukanlah gelar kebangsawanan murni dari adat Bugis-Makassar, melainkan sebuah kreasi yang usianya masih relatif muda, yakni sekitar 100 tahun.
Menurut Prof. Mattulada, seorang Antropolog terkemuka dari Universitas Hasanuddin (Unhas), penggunaan gelar “Andi” ini dimulai pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1930-an. Hal ini sejalan dengan kebutuhan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan kaum bangsawan yang terdidik.
Pada masa itu, setiap siswa yang ingin masuk ke sekolah-sekolah lanjutan milik Belanda, seperti HIS atau sekolah pamong praja, diwajibkan menyertakan stamboom atau daftar silsilah keturunan serta lembar pernyataan kesetiaan pada pemerintah kolonial.
Fakta ini diperkuat oleh penjelasan dari Ince Nurdin, seorang mantan guru OSVIA dan tokoh bangsawan Makassar, yang dikutip dari laman Historia. Ince Nurdin mengatakan bahwa kata “Andi” pertama kali diperkenalkan oleh seorang misionaris Belanda bernama B.F. Matthews.
Matthews, yang juga merupakan kepala sekolah OSVIA dan salah satu pelopor penulisan mahakarya sastra Sureq I Lagaligo bersama Colliq Pujie, memiliki tujuan tersendiri di balik pemberian gelar ini. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sistem kelas sosial (Standen Stelsel) di Sulawesi Selatan, mirip dengan yang sudah ada di Jawa.
Dengan memberikan gelar “Andi” kepada semua keturunan bangsawan, Matthews ingin membedakan mereka dari kaum biasa dan mempersiapkan mereka untuk mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan kolonial. Ini adalah sebuah strategi politik untuk mengintervensi struktur sosial dan mengendalikan kekuatan lokal.
Salah satu contoh penggunaan gelar ini adalah pada nama Andi Matalatta, mantan Panglima Kodam XIV Hasanuddin. Ketika ia hendak melanjutkan sekolahnya di Openbare Schakelschool Makassar pada tahun 1929, kata “Andi” dibubuhkan di depan namanya untuk menandai bahwa ia berasal dari keturunan bangsawan.
Gelar ini terus digunakan oleh para keturunan bangsawan bahkan setelah masa pemerintahan kolonial Belanda berakhir, dan tetap disematkan di depan nama-nama keturunan mereka hingga saat ini.
Ironisnya, gelar “Andi” tidak termasuk dalam daftar gelar kebangsawanan tradisional yang diakui oleh suku Bugis dan Makassar. Masyarakat Bugis memiliki strata sosial yang terdiri dari Arung, Ata, dan To Maradeka, dengan gelar kebangsawanan seperti Datu, Opu, dan Petta.
Sementara itu, suku Makassar memiliki Karaeng, Daeng, Ata, dan Kare. Dengan demikian, sejarah membuktikan bahwa gelar “Andi” adalah sebuah penanda yang relatif baru, sebuah warisan dari masa kolonial yang telah sepenuhnya diadopsi oleh masyarakat Bugis-Makassar.
 
					 
					

 
					




