Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

Nasional

Kenaikan PPN 12% Adalah Tantangan Besar Ekonomi Indonesia 2025

Wamanews.id, 6 Desember 2024 – Pemerintah bersiap mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, kebijakan yang direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan keputusan ini dalam rapat koordinasi bersama sejumlah menteri, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Selasa (3/12/2024).

Kebijakan ini menuai sorotan tajam karena potensi dampaknya terhadap perekonomian nasional. Menurut laporan Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN dapat memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 65,3 triliun dan mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar Rp 40,68 triliun. Pertanyaan yang muncul: apakah langkah ini akan memperburuk pertumbuhan ekonomi di tahun depan?

PPN merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa. Ketika tarifnya naik, harga barang dan jasa otomatis ikut melonjak. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah karena konsumen harus membayar lebih untuk kebutuhan yang sama.

Konsumsi rumah tangga, yang menjadi komponen utama dalam perhitungan PDB, sangat terpengaruh oleh perubahan ini. Celios memperingatkan bahwa penurunan konsumsi akan berdampak langsung pada PDB, menghambat momentum pemulihan ekonomi yang mulai terasa sejak pandemi berakhir.

Tidak hanya itu, kenaikan PPN juga berpotensi menambah beban produsen. Biaya produksi yang meningkat akan menekan margin keuntungan perusahaan, meskipun sebagian dari kenaikan biaya tersebut bisa diteruskan kepada konsumen. Dalam jangka panjang, tekanan pada produksi dan permintaan bisa mengurangi insentif investasi, yang menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ini juga bisa memperburuk daya saing barang domestik di pasar internasional. Jika PPN dikenakan lebih tinggi pada barang dan jasa lokal dibandingkan barang impor, konsumen mungkin akan beralih ke produk impor yang lebih murah. Dampaknya, ekspor melemah, menambah tekanan pada PDB.

Selain itu, kenaikan harga barang domestik akibat PPN bisa memicu inflasi. Inflasi yang tinggi biasanya diikuti oleh kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral, yang dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad, menilai kebijakan ini dapat memperlemah daya beli masyarakat secara signifikan. Daya beli yang menurun akan memukul utilisasi dan penjualan perusahaan, menghambat penciptaan lapangan kerja, dan akhirnya menggerus pendapatan masyarakat.

Sebagai solusi alternatif, Celios menyarankan pemerintah mengeksplorasi sumber penerimaan negara lain yang tidak membebani masyarakat miskin. Misalnya, pajak kekayaan (wealth tax), pajak produksi batu bara, pajak windfall komoditas, hingga pajak karbon. Kebijakan ini dinilai lebih progresif dan tidak langsung mengurangi daya beli masyarakat.

Bagi banyak masyarakat, kenaikan PPN menjadi 12 persen ini terasa seperti kado pahit di penghujung tahun. Meski tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini berpotensi membawa efek domino yang dapat melemahkan perekonomian, dari konsumsi rumah tangga, daya beli, hingga kinerja perusahaan.

Keputusan ini memerlukan pertimbangan matang agar tidak menghambat momentum pertumbuhan ekonomi yang sedang diupayakan pasca-pandemi. Pemerintah perlu mencari keseimbangan antara menambah penerimaan negara dan melindungi kesejahteraan masyarakat luas.

Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan

Penulis

Related Articles

Back to top button