Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

News

Kebijakan AI Gibran di Pendidikan Dihadang Menteri Pendidikan! Bahaya ‘Dunia Tanpa Otak’ Mengancam Akal Sehat Anak Bangsa?

Wamanews.id, 15 Juni 2025 – Polemik mengenai masa depan pendidikan di Indonesia kian memanas. Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, yang gencar mendorong integrasi Artificial Intelligence (AI) dalam kurikulum pendidikan, kini menghadapi pandangan kontra yang cukup kuat dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Sosok Muhammadiyah ini justru memberikan peringatan keras, menyebut bahwa pemanfaatan AI yang tidak bijak berpotensi mematikan akal sehat dan membuat manusia semakin “culas”.

Dorongan Gibran untuk memanfaatkan AI secara menyeluruh di berbagai sektor, termasuk pendidikan, telah menjadi salah satu fokus utamanya sejak ia mengungkapkan gagasan tersebut pada Mei 2025 setelah pertemuan dengan Abdul Mu’ti. Baginya, AI adalah masa depan yang harus dirangkul untuk kemajuan bangsa. Visi ini selaras dengan tren global yang melihat AI sebagai katalisator inovasi.

Namun, di balik optimisme Gibran, Abdul Mu’ti justru melihat sisi gelap dari koin teknologi ini. Dalam sebuah pidato yang kemudian menjadi viral dan memicu perdebatan luas di media sosial, Abdul Mu’ti menyampaikan kekhawatiran mendalamnya tentang dampak negatif AI pada perkembangan manusia.

“Dia menilai penggunaan AI bisa membawa pengaruh negatif pada diri manusia. Matinya akal sehat, di mana kita melihat sekarang ini teknologi digital itu ternyata tidak membuat manusia semakin cerdas, tetapi membuat manusia semakin culas,” tegas Abdul Mu’ti. Pernyataan ini sontak memantik diskursus apakah obsesi terhadap AI justru bisa mengikis kemampuan fundamental manusia.

Pandangan kritis Abdul Mu’ti bukanlah tanpa dasar. Beliau merujuk pada sebuah buku berpengaruh berjudul “World Without Mind: The Existential Threat of Big Tech” yang ditulis oleh Franklin Foer. Buku ini secara spesifik mengupas dampak destruktif dari dominasi perusahaan teknologi raksasa dan bagaimana algoritma mereka, termasuk AI, dapat mengancam otonomi berpikir manusia.

“Di situ kita melihat bahwa, penggunaan teknologi digital termasuk sekarang AI itu, seringkali tidak membuat manusia semakin arif dan bijaksana, dia tidak semakin cerdas tapi semakin culas,” imbuh Abdul Mu’ti, memperkuat argumennya dengan merujuk pada analisis Foer.

Franklin Foer, dalam karyanya, menguraikan dua gejala utama mengapa ketergantungan pada teknologi digital justru dapat mengurangi kecerdasan dan kebijaksanaan manusia:

  1. Erosi Berpikir Kritis dan Analitis: Ketika algoritma AI semakin pintar dalam memproses informasi dan membuat rekomendasi, manusia cenderung menjadi pasif dan kurang berlatih dalam berpikir secara mandiri. Proses mental yang kompleks seperti analisis mendalam, sintesis ide, dan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan multi-aspek menjadi terdegradasi. Akal sehat, yang terbentuk dari pengalaman dan refleksi, terancam mati karena kurangnya stimulasi.
  1. Pembatasan Perspektif dan Polarisasi Informasi: Algoritma AI seringkali dirancang untuk memberikan informasi yang paling relevan atau sesuai dengan preferensi pengguna (personalisasi). Meskipun tujuannya baik, ini dapat menciptakan “filter bubble” atau “echo chamber” di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. Akibatnya, kemampuan untuk memahami sudut pandang berbeda, berpikir secara inklusif, dan mengembangkan empati menjadi terhambat, yang pada gilirannya dapat membuat manusia menjadi lebih “culas” dalam berinteraksi sosial.

Perdebatan antara Gibran dan Abdul Mu’ti ini merefleksikan dilema global tentang bagaimana menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan pengembangan kualitas manusia. Apakah pendidikan harus sepenuhnya berorientasi pada penguasaan AI, ataukah harus lebih menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, moral, dan etika yang tidak dapat digantikan oleh mesin?

Meskipun potensi AI dalam personalisasi pembelajaran, efisiensi administrasi, dan akses pengetahuan tak terbatas sangat besar, peringatan dari Abdul Mu’ti ini menjadi pengingat krusial bahwa kita tidak boleh mengabaikan potensi bahaya. Implementasi AI dalam pendidikan harus dibarengi dengan strategi yang kuat untuk menjaga dan mengasah akal sehat, moralitas, dan kebijaksanaan siswa. 

Diskusi ini diharapkan dapat menghasilkan kerangka kurikulum yang tidak hanya memanfaatkan kecanggihan AI, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang tetap menjadi manusia yang cerdas, arif, dan bertanggung jawab.

Penulis

Related Articles

Back to top button