Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

News

Bukan Sekadar Seremoni: Hari Pahlawan dan Krisis Identitas Bangsa di Tengah Arus Digitalisasi

Wamanews.id, 10 November 2025 – Setiap tanggal 10 November, Indonesia memperingati Hari Pahlawan, mengenang Pertempuran Surabaya 1945 sebagai monumen pengorbanan tanpa batas. Namun, peringatan tahunan ini semestinya menjadi lebih dari sekadar ritual seremonial. 

Ia harus menjadi titik balik refleksi atas integritas kebangsaan yang saat ini kian sulit dilakukan di tengah fenomena disorientasi sejarah dan erosi nasionalisme yang terjadi secara perlahan namun pasti dalam masyarakat kita. Disorientasi ini melampaui hilangnya pengetahuan; ia adalah terputusnya rasa emosional dan tanggung jawab terhadap narasi besar bangsa.

Erosi nasionalisme ini tampak jelas dan multidimensi di ruang publik. Kita menyaksikan fragmentasi sosial yang dipicu oleh konflik SARA berbasis sentimen primordial, praktik korupsi yang masif sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan, hingga kecenderungan kuat masyarakat dalam mengidolakan budaya asing secara berlebihan. Sikap abai terhadap kearifan lokal ini menunjukkan meluruhnya nilai patriotisme.

Ironisnya, ruang digital yang seharusnya menjadi wadah dialog dan edukasi, kini dipenuhi ujaran kebencian dan polaritas, mencerminkan hilangnya kesantunan berinteraksi. Kecepatan informasi di media sosial memicu relativisme moral, di mana kebenaran faktual sejarah pun dapat dengan mudah digugat atau disimplifikasi. Sejarah yang hilang adalah alat kontrol sosial yang terlepas.

Masalah ini berakar pada melemahnya literasi sejarah di kalangan anak bangsa. Penulis, sebagai pengajar mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan, mendapati sebagian besar mahasiswa kian asing dengan peristiwa kunci dan nama tokoh penting sejarah nasional.

Rendahnya literasi ini diperparah oleh:

  • Kurikulum yang berorientasi hafalan dan minimnya kontekstualisasi sejarah dengan isu kontemporer. Sejarah menjadi kering dan tidak relevan.
  • Hilangnya memori kolektif bangsa yang seharusnya menjadi fondasi identitas.

Ketika nilai patriotisme meluruh, etos kerja keras dan integritas kolektif ikut terkikis. Nasionalisme yang seharusnya menjadi sumber energi kemandirian ekonomi, tergantikan oleh mentalitas instan yang seringkali berujung pada praktik korupsi dan mentalitas ‘cepat kaya’ tanpa proses. 

Lebih berbahaya, abainya masyarakat membuka celah bagi historical revisionism melalui media sosial, yang dapat merusak pemahaman publik dan mempertanyakan legitimasi pendirian bangsa.

Penghormatan tertinggi kepada pahlawan sejati adalah dengan merawat fondasi kebangsaan yang mereka perjuangkan. Untuk mencegah disorientasi sejarah yang lebih parah, intervensi kebijakan dan perubahan pedagogi harus segera diimplementasikan.

  1. Revitalisasi Kurikulum Sejarah: Sejarah harus dijadikan fondasi utama pendidikan karakter, bukan pelengkap. Model pembelajaran harus diubah dari hafalan menjadi metode yang memberdayakan, seperti project-based learning dan inquiry-based learning. Materi sejarah harus diintegrasikan dengan isu kontemporer (HAM, lingkungan, kewarganegaraan digital) agar relevan.
  2. Digitalisasi Situs Sejarah: Situs bersejarah, yang sejatinya membentuk “geografi moral” bangsa, harus direvitalisasi ke dalam ruang digital. Pemerintah wajib mengubah monumen pahlawan menjadi destinasi digital learning interaktif menggunakan teknologi imersif (VR/AR tours dan gamification), mengubah fisik monumen menjadi konten edukasi yang mudah diakses.

Melalui revitalisasi pedagogi dan digitalisasi narasi sejarah, energi kolektif bangsa dapat dialihkan dari konsumsi budaya instan asing menuju pemeliharaan akar historis sendiri. Hanya dengan begitu, kita dapat menyelamatkan fondasi kebangsaan dari erosi di tengah derasnya arus globalisasi.

Penulis

Related Articles

Back to top button