Ironi Hukum di Luwu Utara: Dua Guru Senior Dipecat Tidak Hormat Usai Tolong Honorer, Warganet Soroti ‘Kriminalisasi Ketulusan’

Wamanews.id, 12 November 2025 – Nasib pilu menimpa dua guru senior di SMA Negeri 1 Luwu Utara, Rasnal dan Abdul Muis. Keduanya diberhentikan tidak dengan hormat setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan mereka bersalah dalam kasus yang bermula dari niat tulus: pengumpulan dana sukarela sebesar Rp20 ribu dari orang tua murid untuk membantu pembayaran gaji 10 guru honorer yang haknya terabaikan selama 10 bulan.
Kasus yang kini menyayat keprihatinan mendalam publik ini bahkan telah menarik perhatian Komisi E DPRD Sulsel yang menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu (12/11/2025) untuk menindaklanjuti aspirasi/aduan masyarakat.
Direktur Lembaga Penelitian Sosial dan Demokrasi (LPSD), Musmulyadi, mengungkapkan keheranan atas kriminalisasi yang dialami kedua guru tersebut. Kisah getir ini bermula lima tahun lalu ketika 10 guru honorer menghadapi kenyataan gaji mereka tak terbayar akibat masalah administrasi nama mereka tak terdaftar di Dapodik, sehingga dana BOS tak bisa digunakan untuk honorarium.
Di tengah situasi mencekik ini, Rasnal yang saat itu menjabat kepala sekolah, berinisiatif memanggil dewan guru dan komite sekolah. Lahirlah keputusan tulus: para orang tua bersedia iuran Rp20.000 per bulan. Ini adalah tangan yang diulurkan dari hati ke hati, sebuah solusi darurat yang lahir dari rasa persaudaraan dan kepedulian sosial, jauh dari kata ideal, namun bernilai kemanusiaan tinggi.
Namun, niat baik itu berbuah duri. Sebuah laporan yang dilayangkan oleh LSM mengubah solidaritas menjadi “penyelidikan” dan “penyidikan”. Niat baik harus berhadapan dengan prosedur baku. Dalam sistem yang kaku, kebaikan tanpa izin resmi berubah menjadi kesalahan.
Proses hukum yang panjang sempat memberikan angin segar ketika Pengadilan Tipikor Makassar (Judex Factie) memutus bebas kedua guru, dengan menyatakan tindakan mereka bukanlah tindak pidana.
Sayangnya, harapan itu sirna ketika Mahkamah Agung (Judex Juris) membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara. Puncaknya, pada 14 Oktober 2025, keduanya resmi diberhentikan tidak dengan hormat.
Musmulyadi mengkritik keras, “Hukum, dalam wujudnya yang paling kaku, seringkali lupa pada tujuan dasarnya: melindungi manusia.” Kasus ini menjadi ironi: negara lalai membayarkan hak guru selama berbulan-bulan, namun ketika masyarakat mengambil inisiatif untuk saling membantu, mereka justru dihukum.
Kasus ini telah viral dan memicu kemarahan publik di media sosial. Akun-akun seperti undercover.idramai-ramai mengomentari nasib kedua guru tersebut.
Kritik pedas dilayangkan akun @didaaann_: “ingat kita tinggal di negara yg salah, di mana orang yang jujur & tulus akan disingkirkan, sementara orang yang berbuat mungkar akan dipelihara & dibela.”
Komentator lain, @habibsyadzily, menganalisis: “Ini terjadi karena apa? Ya karena nirempati dan moralitas institusi yang menuntut ketaatan prosedural lebih tinggi daripada kepedulian sosial. Dua guru yang sekadar berupaya menjaga martabat rekan sejawat kini dituduh menyalahi tata kelola birokrasi. Barangkali inilah wujud baru represifitas lembut ketika ketulusan dikriminalisasi…”
Kasus Rasnal dan Abdul Muis adalah cermin ironi kontemporer, di mana hukum, dalam implementasinya yang kaku, gagal mengakomodasi nilai kemanusiaan dan solidaritas. RDP di DPRD Sulsel diharapkan dapat menjadi momentum untuk meninjau kembali kasus ini dan menempatkan empati di atas prosedur kaku.







