Redenominasi Rupiah Kembali Mengemuka, Kemenkeu Target RUU 2027: Wajib Belajar dari Zimbabwe dan Venezuela

Wamanews.id, 10 November 2025 – Wacana penerapan redenominasi atau penyederhanaan jumlah digit mata uang rupiah kembali menjadi agenda strategis pemerintah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara resmi memasukkan kebijakan ini, yang ditargetkan akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) dan rampung pada tahun 2027.
Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029, yang diteken oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Jumat (10/10/2025).
Rencana redenominasi sebenarnya telah bergulir sejak lama. Pada tahun 2010, Bank Indonesia (BI) di bawah Gubernur Darmin Nasution sempat menyusun jadwal besar penerapan redenominasi dalam jangka waktu 10 tahun, dengan harapan rupiah seutuhnya memiliki nilai nominal baru pada akhir 2020. Rencana ini urung terlaksana.
Pada tahun 2017, upaya sempat dihidupkan kembali ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Gubernur BI periode 2013-2018, Agus DW Martowardojo, mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang secara resmi kepada Presiden Joko Widodo. Namun, pembahasan payung hukumnya tak pernah selesai hingga berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019.
Setelah sempat absen dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 hingga 2020, rencana strategis ini kembali muncul di tengah pandemi Covid-19 melalui PMK Nomor 77/PMK.01/2020, dan kini kembali diperkuat melalui PMK 70/2025.
Pengamat sekaligus Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, mengatakan redenominasi rupiah memang berpeluang berdampak positif bagi Indonesia, terutama secara psikologi. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan penyederhanaan digit ini tidak selalu berakhir sukses, dan Indonesia wajib belajar dari kasus kegagalan negara lain.
Menurut Lukman, dampak paling krusial yang harus diperhatikan oleh pemangku kepentingan adalah kesiapan sistem, terutama keuangan, perbankan, ATM, hingga akuntansi. Sektor-sektor tersebut perlu langsung mengadaptasi program mereka agar dapat berjalan secara benar.
“Dengan itu perlu sosialisasi dan persiapan yang sangat baik atau sempura. Karna hal ini, sistem mesti langsung beralih secara serentak bersamaan agar tidak ada standar ganda yang bisa menimbulkan chaos,” terang Lukman Leong, Senin (10/11/2025).
Lukman membeberkan bahwa ada beberapa negara yang dianggap sukses melakukan redenominasi, di antaranya adalah Turki, Brasil, dan Perancis.
Sebaliknya, negara yang dinilai gagal melaksanakan redenominasi, yang harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia, adalah Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina.
Kasus paling ekstrem adalah Zimbabwe, yang mengalami empat kali pergantian mata uang akibat hiperinflasi antara 2006–2009, dengan mata uang terakhir adalah dollar Zimbabwe ke-4. Kegagalan ini menunjukkan bahwa redenominasi yang dilakukan tanpa didukung oleh fundamental ekonomi yang kuat hanya akan menjadi siklus berulang pemotongan nilai nominal, bukan perbaikan daya beli.
Dengan kembali masuknya redenominasi dalam agenda strategis, pemerintah dituntut untuk tidak hanya fokus pada penetapan RUU, tetapi juga pada penyusunan persiapan teknis yang sempurna dan sosialisasi yang masif agar perubahan harga rupiah tidak menimbulkan kebingungan dan kekacauan sistemik.







