Festival Media 2025: AJI Ajak Lintas Sektor Bersatu Lawan Pembungkaman Pers

Wamanews.id, 12 September 2025 – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar perhelatan tahunan Festival Media (Fesmed) 2025 di Gedung E, Benteng Ujung Pandang, Makassar, pada Jumat (12/9/2025). Acara ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena mengusung semangat kolaborasi yang kuat dan inklusif. Ratusan jurnalis, akademisi, aktivis, hingga komunitas sipil berkumpul tidak hanya untuk merayakan pers, tetapi juga untuk menyatukan kekuatan dalam menghadapi tantangan berat.
Ketua Panitia Fesmed 2025, Syahrul Ramadhan, menekankan bahwa acara tahun ini dibangun di atas semangat kebersamaan. “Tahun ini kami membuat Festival Media dengan semangat inklusif, berkolaborasi dengan berbagai kalangan, dan membahas permasalahan dari berbagai sektor,” ucapnya. Sesuai dengan semangat itu, Fesmed 2025 akan berlangsung selama beberapa hari dengan rangkaian acara yang beragam, mulai dari diskusi panel, pameran, lokakarya, hingga pertunjukan seni.
Namun, di balik semangat kolaborasi tersebut, ada pesan yang sangat serius dan mendesak. Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, dalam sambutannya menyampaikan bahwa pemilihan Kota Makassar sebagai tuan rumah memiliki makna penting. Ia menilai Festival Media kali ini adalah momentum untuk menyadarkan publik bahwa demokrasi Indonesia sedang sakit. Nany menyoroti berbagai ancaman yang dihadapi oleh pers, mulai dari kekerasan fisik hingga intimidasi yang lebih halus.
“Ada intimidasi, kriminalisasi, kamera dirampas, ponsel disita, bahkan dipukul saat bertugas,” kata Nany, menggambarkan betapa rentannya posisi jurnalis di lapangan. Ia juga menyoroti adanya ancaman sensor halus melalui tekanan iklan dan kepentingan politik, serta munculnya undang-undang yang dinilai menakut-nakuti media. Menurutnya, hal ini adalah bentuk pembungkaman pers yang menjadi penyakit berbahaya bagi demokrasi.
Lebih lanjut, Nany menyoroti krisis ekonomi yang melanda industri media, yang berujung pada PHK massal. Sebanyak 1.300 jurnalis kehilangan pekerjaan, sebuah fakta yang ia maknai sebagai hilangnya mata dan telinga publik. “Ketika satu jurnalis di-PHK, satu mata rakyat ditutup. Ketika satu media dimatikan, satu telinga rakyat ditulikan. Dan ketika pers mati, semua rakyat menjadi buta,” ujarnya, dengan nada yang penuh keprihatinan.
Melawan semua ancaman itu, Nany menegaskan bahwa jurnalis adalah pihak yang bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk kekuasaan atau keuntungan pribadi. Mereka adalah yang membongkar korupsi, mengungkap kerusakan lingkungan, dan menyuarakan masyarakat adat. Oleh karena itu, ia menyerukan perlunya solidaritas lintas sektor untuk menjaga kebebasan pers. “Melindungi jurnalis berarti melindungi demokrasi,” tegasnya.
Festival Media 2025 di Makassar ini, dengan demikian, menjadi lebih dari sekadar ajang berkumpul. Ia adalah manifestasi dari tekad jurnalis dan masyarakat sipil untuk terus berjuang demi kebebasan pers. Fesmed menjadi ruang untuk menegaskan kembali bahwa pers yang merdeka adalah fondasi utama dari sebuah negara yang demokratis dan beradab.







