Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

News

Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia Capai Titik Darurat Jelang 80 Tahun Merdeka

Wamanews.id, 28 Juli 2025 – Lonceng bahaya bagi kebebasan beragama di Indonesia semakin nyaring berbunyi. Jelang perayaan ulang tahun ke-80 kemerdekaan, Center for Inter-Religious Studies and Traditions (CFIRST) melontarkan kecaman keras atas insiden intoleransi terbaru yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. 

Pada Minggu, 27 Juli 2025, dilaporkan sejumlah warga membubarkan paksa aktivitas ibadah dan pendidikan agama di Rumah Doa milik Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah.

Menurut Direktur CFIRST, Arif Mirdjaja, peristiwa di Padang ini adalah bagian dari pola yang semakin mengkhawatirkan, menambah deretan panjang aksi intoleransi yang terus terjadi di seluruh penjuru negeri. 

“Situasi ini menggambarkan darurat pelanggaran konstitusi tentang kebebasan beragama yang timbul dari sikap kebencian dan permusuhan oleh ustad-ustad, ulama-ulama hingga YouTuber-YouTuber yang secara konsisten menyebarkannya lewat berbagai platform media, hingga kebijakan dalam perda-perda yang diskriminatif bahkan UU yang berbau SARA,” tegas Arif kepada SindoNews, Senin (28/7/2025). Ia menyoroti bagaimana ujaran kebencian dan regulasi yang diskriminatif berkontribusi pada memburuknya situasi.

Arif Mirdjaja tidak hanya mengkritik aktor-aktor penyebar kebencian, tetapi juga menunjuk pada peran negara dalam fenomena ini. Menurutnya, aksi intoleransi semakin merajalela karena adanya pembiaran dari pihak berwenang, yang memungkinkan doktrin-doktrin intoleran terus terpelihara dan disemai di masyarakat. Lebih jauh, ia menggarisbawahi adanya dugaan diskriminasi dalam penegakan hukum yang ditunjukkan oleh aparat.

“Pembiaran ini adalah sebuah kejahatan by omission oleh negara, pemerintah harus segera bertindak dan memastikan bahwa negara menjamin kebebasan beragama setiap orang tanpa terkecuali,” seru Arif. 

Ia mencontohkan bagaimana kriminalisasi dan penghinaan terhadap simbol-simbol agama minoritas kerap kali dibiarkan, sementara kritik terhadap kelompok mayoritas justru ditindak dengan sigap. Ketimpangan ini, menurutnya, merusak prinsip keadilan dan kesetaraan di mata hukum.

Untuk memperbaiki keadaan, Arif Mirdjaja mengusulkan agar pemerintah tidak hanya bertindak tegas secara hukum, tetapi juga membuka ruang dialog yang lebih luas antarumat beragama. “Negara juga harus memastikan dan membuka ruang dialog antarumat, dan mendorong moderasi keagamaan. 

Sosialisasi tentang nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara harus didorong lebih masif,” imbuhnya. Dialog konstruktif dan penguatan nilai-nilai Pancasila diyakini sebagai kunci untuk membangun kembali jembatan toleransi.

Sebagai seorang eks Aktivis 98 yang pernah berjuang untuk demokrasi dan kebebasan, Arif Mirdjaja menyatakan keprihatinan mendalam bahwa setelah hampir delapan dekade Indonesia merdeka, bangsa ini justru menghadapi kemunduran ideologi Pancasila dan pengikisan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. 

Menurutnya, situasi ini sangat genting dan bukan tidak mungkin jika sikap intoleransi terus dibiarkan tumbuh subur, maka Pancasila sebagai dasar negara akan punah, tergantikan oleh doktrin-doktrin radikal.

“Untuk itu pemerintah harus mengambil sikap tegas baik secara hukum maupun secara sosial budaya dan melakukan mitigasi menjaga nilai-nilai luhur Pancasila,” pungkasnya. Peringatan keras ini menjadi alarm bagi seluruh elemen bangsa. Kemerdekaan Indonesia dibangun atas dasar persatuan dalam keberagaman. 

Jika toleransi dan kebebasan beragama terus tergerus, maka fondasi kebangsaan akan runtuh. Penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila demi keberlangsungan Indonesia yang damai dan harmonis.

Penulis

Related Articles

Back to top button