Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

Nasional

Jubir Presiden Sebut Kita Sebagai ‘Rakyat Jelata’

Wamanews.id, 7 Desember 2024 – Pernyataan kontroversial Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Adita Irawati, menuai gelombang kritik di media sosial. Sebutan “rakyat jelata” yang ia gunakan untuk merujuk masyarakat kecil dianggap tidak pantas, memicu reaksi keras dari warganet, termasuk dari pegiat media sosial, Jhon Sitorus.

Dalam unggahannya di platform X pada Jumat (6/12/2024), Jhon Sitorus menyoroti gaji dan tunjangan yang diterima Adita sebagai pejabat negara, yang disebutnya berasal dari pajak rakyat. Ia menegaskan bahwa masyarakat yang disebut sebagai “rakyat jelata” turut berkontribusi pada penghasilan pejabat publik seperti Adita.

“Rp18.648.000 gaji dan tunjangan yang diterima oleh Adita Irawati, Jubir Kantor Kepresidenan, berasal dari pajak rakyat jelata yang ia sebut berkali-kali. Nilai ini digunakan untuk menghidupi keluarganya, membayar kredit, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tulis Jhon.

Ia kemudian mempertanyakan apakah publik rela uang pajak mereka digunakan untuk menggaji pejabat yang dianggap menggunakan diksi yang tidak menghormati masyarakat kecil. “Gimana, kalian rela uang pajak yang kita titipkan digunakan untuk menggaji orang seperti ini?” ujar Jhon, menutup kritiknya.

Merespons polemik ini, Adita memberikan klarifikasi terkait penggunaan istilah “rakyat jelata.” Ia menjelaskan bahwa tidak ada niat buruk di balik penggunaan diksi tersebut. Menurutnya, istilah itu dipilih berdasarkan makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang merujuk pada “rakyat biasa.”

“Kejadian ini sama sekali tidak disengaja. Saya menggunakan diksi tersebut sesuai dengan arti di dalam KBBI, yaitu rakyat biasa, yang mewakili kita semua sebagai rakyat Indonesia,” ungkap Adita.

Ia juga menyampaikan bahwa pergeseran makna pada beberapa kata dalam bahasa Indonesia di era modern ini bisa saja menimbulkan kesalahpahaman. “Saya memahami bahwa konteks penggunaan bahasa sangat penting, dan saya meminta maaf jika hal ini menimbulkan polemik di masyarakat,” tambahnya.

Meski telah memberikan klarifikasi, warganet masih menunjukkan ketidakpuasan. Banyak yang menilai bahwa sebagai seorang pejabat publik, Adita seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata, mengingat setiap pernyataan pejabat negara akan diawasi dan dianalisis oleh masyarakat.

“Apapun alasannya, menyebut rakyat kecil sebagai ‘jelata’ terkesan merendahkan. Pejabat publik harus lebih sensitif terhadap istilah yang digunakan,” tulis salah satu pengguna X.

Beberapa lainnya menyayangkan bahwa insiden ini terjadi di tengah situasi masyarakat yang tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi. “Di saat rakyat sedang berjuang dengan kenaikan harga dan pajak, diksi seperti ini justru memperburuk citra pemerintah,” tulis komentar lain.

Istilah “rakyat jelata” sebenarnya tidak memiliki konotasi negatif dalam pengertian formal. Berdasarkan KBBI, istilah ini berarti “rakyat biasa,” tanpa muatan yang merendahkan. Namun, dalam perkembangan budaya bahasa modern, kata ini sering kali diasosiasikan dengan stigma sosial, sehingga penggunaannya menjadi sensitif.

Kasus ini menjadi pengingat bagi pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Di era digital, setiap ucapan memiliki dampak besar, terutama jika melibatkan isu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas.

Ke depan, diharapkan insiden seperti ini dapat dihindari dengan komunikasi yang lebih inklusif dan sensitif terhadap persepsi publik. Polemik ini juga menjadi cerminan pentingnya memahami konteks budaya dan sosial dalam penggunaan bahasa resmi.

Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan

Penulis

Related Articles

Back to top button