Literasi Indonesia Darurat! Senator RI Ajak Jadikan Buku sebagai Garda Terdepan Bangsa

Wamanews.id, 18 Mei 2025 – Momentum peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh setiap 17 Mei seharusnya menjadi cermin reflektif bagi kondisi literasi di Indonesia. Namun, realitanya masih jauh dari ideal. Senator DPD RI dari Dapil DKI Jakarta, Fahira Idris, menyuarakan keresahannya soal tantangan struktural yang masih membelit ekosistem perbukuan nasional.
Dalam keterangannya di Jakarta pada Sabtu (17/5/2025), Fahira menekankan bahwa Indonesia sejatinya tidak kekurangan penulis cemerlang atau penerbit progresif. Persoalan mendasarnya terletak pada lemahnya ekosistem literasi: akses yang tidak merata, harga buku yang mahal, budaya membaca yang belum membumi, hingga pembajakan yang terus merajalela.
“Buku bukan hanya alat untuk menambah pengetahuan, tapi juga instrumen pembentuk karakter bangsa. Sudah saatnya buku dipindahkan dari rak-rak pajangan menuju kehidupan nyata.
Dibaca, dibagikan, dan dihidupkan,” ujar Fahira dengan tegas. Senator yang dikenal sebagai pegiat pendidikan ini menyebut, minat baca masyarakat sebenarnya ada, namun terhambat oleh berbagai kendala. Salah satunya adalah faktor ekonomi.
“Buku dianggap sebagai barang mahal. Di sisi lain, daya beli masyarakat stagnan. Bahkan pembebasan PPN untuk buku pendidikan pun belum banyak diketahui publik,” ungkapnya. Tingkat literasi Indonesia juga menjadi sorotan.
Berdasarkan survei PISA 2022, Indonesia hanya menempati peringkat ke-69 dari 80 negara. Ini menjadi indikator bahwa budaya membaca belum menjadi bagian utama dari sistem pendidikan nasional maupun kehidupan rumah tangga.
“Sekolah bukan satu-satunya tempat menanamkan budaya literasi. Keluarga harus jadi role model. Keteladanan membaca dari orang tua jauh lebih berdampak daripada ceramah motivasi,” lanjut Fahira.
Selain tantangan internal, Fahira juga menyoroti bahaya laten dari era digital, yakni pembajakan buku yang semakin masif. Buku bajakan kini bertebaran di berbagai marketplace hingga grup daring, menjatuhkan harga buku asli dan memukul semangat para penulis dan penerbit.
Untuk menjawab kompleksitas itu, Fahira Idris mengajukan empat strategi utama sebagai solusi jangka panjang:
1. Reformasi Pajak Buku secara Holistik:
Pemerintah harus memperjelas definisi buku bebas PPN, memperluas cakupan kebijakan hingga buku anak dan buku kreatif, serta menyosialisasikannya secara maksimal.
2. Digitalisasi Aman dan Progresif:
Penerbit harus bekerja sama dengan pengembang teknologi untuk menciptakan e-book yang edukatif dan tahan bajak. Insentif pemerintah bagi kanal distribusi digital lokal sangat diperlukan.
3. Literasi Berbasis Komunitas dan Keluarga:
Literasi tak bisa hanya jadi tugas sekolah. Taman baca, perpustakaan desa, dan komunitas literasi harus dihidupkan kembali sebagai pusat kebiasaan membaca.
4. Subsidi Silang dan Program Nasional Literasi:
Melalui skema subsidi silang, penjualan buku premium bisa membiayai distribusi buku murah ke daerah marginal. Sementara program seperti “Satu Rumah, Satu Buku per Bulan” bisa jadi langkah konkret untuk menanamkan budaya membaca dari rumah.
Menurut Fahira, Hari Buku Nasional tidak boleh sekadar menjadi seremoni tahunan tanpa dampak nyata. “Buku jangan jadi barang mewah. Ia harus jadi pemantik daya pikir, instrumen perubahan, dan alat pembentuk peradaban. Di tengah budaya instan dan arus digital yang membanjiri, kita harus kembalikan buku ke pangkuan rakyat,” pungkasnya.