Asal Usul Sebutan “Bule” untuk Orang Asing di Indonesia
Wamanews.id, 13 Oktober 2024 – Di Indonesia, istilah “bule” sudah menjadi sebutan yang lazim digunakan untuk merujuk pada orang asing, terutama mereka yang berkulit putih, seperti orang Eropa atau Amerika.
Meski penggunaan istilah ini sudah berlangsung lama dan melintasi berbagai generasi, banyak yang tidak mengetahui asal mula penggunaan kata ini. Mengapa masyarakat Indonesia memanggil orang asing berkulit putih dengan sebutan “bule”?
Menurut penelitian ilmuwan Tom Popensky, istilah “bule” sudah mulai digunakan pada tahun 1952. Buktinya ditemukan dalam sebuah tulisan W. le Febre yang berjudul Taman Siswa: Ialah Kepertjajaan Kepada Kekuatan Sendiri Untuk Tumbuh (1952). Dalam tulisan ini, tercatat frasa “wong bule” yang digunakan untuk merujuk pada orang berkulit putih. Istilah ini muncul dalam konteks rasialisme yang terjadi pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Popensky menjelaskan bahwa penggunaan kata “bule” pada masa itu mencerminkan sentimen masyarakat Indonesia yang mengalami kebingungan dan kegelisahan sosial selama revolusi. Banyak orang kulit putih yang hidup di Indonesia pada saat itu dianggap bingung dengan situasi huru-hara yang terjadi, sehingga istilah “bule” menjadi simbol untuk merujuk pada orang asing yang berkulit putih.
Selain catatan sejarah tersebut, popularitas istilah “bule” dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia juga dipengaruhi oleh seorang Indonesianis asal Inggris, Benedict Anderson. Dalam autobiografinya yang berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016), Anderson mengklaim bahwa dialah yang pertama kali mempopulerkan istilah “bule” sebagai sebutan bagi orang berkulit putih pada tahun 1962 dan 1963.
Saat pertama kali tiba di Indonesia pada awal 1960-an, Anderson merasa tidak nyaman ketika masyarakat Indonesia memanggilnya “Tuan” atau “Putih.” Pada masa itu, Indonesia baru saja merdeka, dan banyak orang masih larut dalam pola pikir kolonial. Orang asing, terutama yang berkulit putih, masih dianggap lebih superior. Akibatnya, banyak orang Indonesia yang merasa lebih rendah dan kerap menunjukkan sikap hormat berlebihan kepada mereka.
Anderson merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, terutama karena dia hanya seorang mahasiswa biasa yang sedang belajar di Indonesia. Ia merasa panggilan seperti “Tuan” terlalu berlebihan dan merepresentasikan sisa-sisa budaya kolonial. Sebagai alternatif, ia meminta teman-teman Indonesianya untuk memanggilnya “bule” daripada “Tuan” atau “Putih.”
Kata “bule” sebenarnya sudah digunakan dalam masyarakat Indonesia untuk merujuk pada hewan berkulit albino, seperti kerbau albino yang dianggap istimewa dalam tradisi Kesultanan Yogyakarta. Anderson melihat bahwa istilah ini bisa digunakan dengan lebih ringan dan tidak memiliki konotasi superioritas seperti panggilan “Tuan” atau “Putih.”
Anderson menceritakan bahwa kawan-kawannya di Indonesia merasa senang dengan istilah “bule” dan mulai menyebarkannya melalui berbagai media populer pada masa itu. Dari situ, penggunaan kata “bule” semakin meluas dan akhirnya menjadi istilah umum yang digunakan untuk merujuk pada orang asing berkulit putih.
Meski istilah “bule” kini sudah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari di Indonesia, bagi sebagian orang asing, istilah ini dianggap memiliki konotasi rasis. Anderson sendiri pernah mendapat kritik dari seorang kawannya pada tahun 1970-an, yang merasa bahwa penggunaan kata “bule” untuk menyebut orang berkulit putih adalah bentuk stereotip yang merendahkan.
Namun, Anderson tidak menganggap serius kritik tersebut. Menurutnya, istilah “bule” tidak dimaksudkan untuk merendahkan, melainkan hanya sebagai cara informal untuk merujuk pada orang berkulit putih.
Kini, istilah “bule” sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasa Indonesia. Meskipun kata ini awalnya muncul dengan konteks sejarah yang kompleks, penggunaannya saat ini lebih netral dan umum. Sebutan “bule” tidak lagi memiliki konotasi yang kuat terhadap kekuasaan kolonial atau superioritas, melainkan lebih sebagai istilah deskriptif untuk merujuk pada orang asing, terutama mereka yang berkulit putih.
Namun demikian, penting bagi masyarakat Indonesia untuk tetap menyadari konteks sejarah dari istilah “bule” ini dan menjaga penggunaan kata tersebut agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau perasaan tidak nyaman bagi pihak yang disebut.
Dalam dunia yang semakin global, sensitivitas terhadap istilah-istilah yang berhubungan dengan identitas rasial menjadi semakin penting.
Penggunaan istilah “bule” untuk menyebut orang asing berkulit putih di Indonesia memiliki sejarah panjang yang bermula sejak era kolonial dan Revolusi Nasional Indonesia. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Benedict Anderson pada tahun 1960-an, yang berupaya menggantikan panggilan “Tuan” yang ia anggap sebagai sisa-sisa budaya kolonial.
Meski bagi sebagian orang asing istilah “bule” dianggap kurang nyaman, penggunaannya kini sudah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari di Indonesia. Yang terpenting adalah memastikan penggunaan istilah ini dilakukan dengan bijaksana dan tanpa niat merendahkan, mengingat sensitivitas rasial dalam masyarakat modern.
Penulis: Nada Gamara
Editor: Ardan