Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

Budaya

Ammana Gappa, Pelaut Wajo Pencetus Hukum Pelayaran dan Perdagangan di Nusantara

Wamanews.id 20 Oktober 2025 – Ammana Gappa adalah seorang pelaut asal Wajo yang juga merupakan Matoa Wajo ke-3. Ia menjadi salah tokoh pencetus hukum pelayaran dan perdagangan yang dirumuskan bersama para matoa (ketua), saudagar, dan pelaut lainnya merumuskan hukum pelayaran dan perdagangan.

Hukum laut atau undang-undang “Ammana Gappa” disepakati sebagai aturan yang berlaku dan dipatuhi para pelaut dari laut Banda hingga selat Malaka. Naskah aturan ini ditulis dalam 18 lontara’ berbahasa Bugis disebut sebagai “Ade allopi loping bicaranna pa’balu balu’e” yang berarti hukum atau etika pelayaran dan perdagangan.

Dalam buku Kepemimpinan Bahari; Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (Labolo, 2012), R.Z Leirissa menulis satu artikel yang berjudul “Masyarakat Bahari dalam Perspektif Sejarah”. Leirissa menilai, naskah “Ammana Gappa” terinspirasi dan menyesuaikan dari “Undang-undang Malaka” yang sebelumnya sudah dibuat oleh Kerajaan Malaka sekitar abad ke-15. 

Perjanjian ini terdiri dari 21 pasal yang diperkirakan ditulis pada tahun 1676. Ketentuan yang diatur dalam perjanjian ini antara lain tentang cara berdagang dalam pelayaran, sistem kebirokrasian di atas kapal, syarat untuk menjadi seorang nahkoda, sistem pembagian petak di dalam kapal, cara penyelesaian konflik, hingga penyelesaian utang-piutang.

Hukum laut Ammana Gappa ternyata berkontribusi besar bagi dunia pelayaran. Aturan tersebut dijalankan dan dipatuhi para pelaut Bugis-Makassar hingga abad ke-20. Dalam buku Warisan Bahari Indonesia (Bambang Budi Utomo, 2016), dijelaskan bahwa konsep -konsep kepemilikan yang tercantum dalam “Ammana Gappa” banyak diadopsi menjadi hukum laut yang dirumuskan di berbagai konvensi internasional.

Sejarah Singkat Awal Mula Hukum “Ammana Gappa”

Pada abad ke-7 sampai abad ke-18 adalah zaman kejayaan bahari di Nusantara. Wilayah perairan terbentang dari pulau Sumatera sampai dengan Pulau Papua. 

Kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya terkenal memiliki wilayah dan armada maritim yang luas dan besar. Di antara banyak nya kerajaan yang berkuasa di wilayah maritim saling berperang mempertahankan wilayah perairannya masing masing.

Kebiasaan melaut dan berlayar ternyata juga dimiliki oleh masyarakat Bugis-Makassar. Mereka menjelajahi wilayah pesisir Asia Tenggara, Australia Utara, dan bahkan Pulau Madagaskar.

Dalam mengarungi samudera memerlukan waktu berbulan-bulan, hal ini yang menyebabkan muncul beberapa permasalahan di atas kapal. Tidak ada yang mengatur hubungan kepada saudagar dan etika di atas kapal. Memasuki abad ke-17, mulailah tumbuh kesadaran untuk membuat sebuah aturan yang mengikat dan berlaku bagi seluruh pelaut.

Pengaruh dari monopoli dagang yang dilakukan oleh VOC imbas dari Perjanjian Bongaya juga sangat mengganggu kestabilan kehidupan pelayaran dan perdagangan area pelabuhan Makassar. VOC memonopoli perdagangan, melarang kapal asing singgah tanpa izin, memaksa penghancuran benteng, dan mengisolasi Makassar. 

Berdasar pada pemikiran yang progresif dan berkeadilan dari seorang Ammana Gappa bersama matoa dan komunitas pedagang-pelaut akhirnya membuat suatu forum musyawarah untuk merumuskan aturan yang menjadi hukum pelayaran dan perdagangan.

Hukum pelayaran dan perdagangan ini bernama “Ammana Gappa”, dianut oleh para pelaut Bugis-Makassar. Hukum ini kemudian menjadi pedoman para pelaut di zaman itu.

21 pasal dari hukum “Ammana Gappa”

1.   Perkara sewa muatan perahu 

2.   Perkara nahkoda perahu 

3.   Perkara dagangan yang kembali karena tidak laku 

4.   Perkara nahkoda yang mengubah haluan kapal 

5.   Perkara alat-alat perahu secara keseluruhan 

6.   Perkara persyaratan nahkoda perahu 

7.   Perkara berjualan (berdagang) 

8.   Perkara berhutang di pasar dalam perjalanannya 

9.   Perkara warisan 

10. Perkara pertengkaran dalam konteks perdagangan 

11. Perkara pertengkaran dalam konteks perjalanan 

12. Perkara peraturan pembagian laba 

13. Perkara pinjam dan meminjam 

14. Perkara seseorang yang membayar dengan memberikan barangnya 

15. Perkara rangeng-rangeng pembawa barang dagangan 

16. Perkara pedagang yang meninggal dalam perjalanannya 

17. Perkara macam-macam barang dagangan yang dipinjam 

18. Perkara kawula 

19. Perkara ana’guru yang mengambil uang 

20. Perkara seseorang yang dipungut di laut selama perjalanan 

21. Perkara amanat Amanna Gappa kepada seluruh orang Wajo

Nilai kesetaraan dan keadilan dalam “Ammana Gappa”

Ammana Gappa bersama dengan matoa lainnya dalam merumuskan pasal pasal hukum sangat berlandaskan dengan etika dan konsep keadilan. Mereka mengatur aturan yang adil dan bisa dipertanggung jawabkan. Salah satunya yaitu laba atau keuntungan harus dibagi secara transparan. Hal tersebut sangat bermanfaat karena untuk menhindari kecurangan atau monopoli perdagangan yang seperti VOC lakukan.

Nilai-nilai kesetaraan dan keterbukaan menjiwai seluruh aturan itu. Hal ini menjadikan bukti bahwa hukum lahir dari kebutuhan nyata masyarakat, bukan dari tekanan senjata. Pemilik kapal, pedagang, nakhoda, hingga awak berada dalam posisi seimbang. Sengketa diselesaikan dengan musyawarah, bukan pemaksaan. 

Gagasan tentang transparansi dan keadilan, yang kualitasnya sudah berkurang dalam sistem perdagangan masa kini, pernah sangat diapresiasi oleh para pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah Bugis-Makassar.

Walaupun sistem Hukum Ammana Gappa kini tak lagi digunakan dan diterapkan dalam mencetuskan kebijakan, namun hukum tersebut tetap dapat menjadi rujukan dalam perumusan hukum hukum pelayaran di era modern. Pasal dari Hukum Amanna Gappa dapat dilihat keterkaitannya dengan kebijakan maritim Indonesia. Keterkaitan tersebut dilihat dari pentingnya pengaturan sistem ekonomi, keamanan, dan perdagangan dalam kemaritiman. 

Reporter: Muh Fadhlur Rahman (Magang)

Penulis

Related Articles

Back to top button