Aktifkan notifikasi untuk dapat update setiap hari!

Budaya

Masyarakat Adat Desak DPRD Sulsel Usut Tuntas Dugaan Penyimpangan GMTD: Dari Visi Budaya Jadi Bisnis Perumahan 

Wamanews.id, 19 Desember 2025 – Gelombang protes terhadap pengelolaan kawasan Tanjung Bunga oleh PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD) kembali mencuat. Kali ini, Komite Organisasi Masyarakat Adat, Budaya, Pusaka, dan Sejarah Sulawesi Selatan secara resmi melayangkan desakan kepada DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk segera turun tangan mengusut dugaan penyimpangan dalam kerja sama antara pemerintah daerah dengan pihak swasta tersebut.

Dewan Majelis Pemangku Adat Kerajaan Gowa Bali Empona Salokoa, A. Idris AM. A.Idjo Daeng Buang Karaengta Katangka, menegaskan bahwa operasional GMTD saat ini telah melenceng jauh dari tujuan awal pendiriannya. Menurutnya, GMTD pada mulanya dibentuk sebagai kawasan pariwisata yang berbasis pada nilai budaya dan sejarah kemaritiman Sulawesi Selatan, bukan sekadar ladang bisnis properti.

Dalam keterangannya pada Jumat (19/12/2025), Idris menjelaskan bahwa berdasarkan SK Menteri Parpostel Tahun 1991 dan SK Gubernur Sulsel Nomor 1188/XI/1991, GMTD ditetapkan sebagai pengelola kawasan pariwisata seluas 1.000 hektare. Luasan tersebut mencakup 700 hektare di Kecamatan Tamalate, Makassar, dan 300 hektare di Kecamatan Pallangga, Gowa.

“Gagasan besar ini lahir dari visi Gubernur Ahmad Amiruddin untuk mengembalikan kejayaan kawasan Somba Opu sebagai pusat kebudayaan, perdagangan, dan pariwisata. GMTD seharusnya menjadi perusahaan patungan yang melibatkan Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, dan Pemkab Gowa guna mengintegrasikan pariwisata dengan revitalisasi benteng bersejarah,” ungkap Idris.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Idris menilai sejak Group Lippo menjadi pemegang saham mayoritas, orientasi pembangunan berubah total. Kepentingan oligarki disebut lebih menonjol dengan pembangunan klaster perumahan mewah, rumah sakit, dan pusat perbelanjaan, sementara roh pariwisata budaya yang dijanjikan justru hilang tak berbekas.

Hal yang paling meresahkan bagi masyarakat adat adalah dugaan penggunaan SK Gubernur sebagai alat untuk “merampas” tanah masyarakat adat dan warga penggarap miskin di kawasan Tanjung Bunga hingga Barombong. Idris menuding adanya praktik mafia tanah yang sistematis di mana lahan yang dibebaskan atas nama GMTD diduga dialihkan kepada anak usaha Group Lippo, bukan dikembangkan oleh GMTD sendiri.

“Ini memperkuat dugaan adanya penggelapan aset dan hak pemerintah daerah. Masyarakat kecil tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan oligarki yang menguasai berbagai lini,” tegasnya.

Atas dasar temuan tersebut, masyarakat adat menuntut DPRD Sulsel segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan memanggil manajemen GMTD dan Group Lippo. Mereka juga mendesak pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan unsur penegak hukum, BPK, serta BPKP untuk melakukan audit keuangan secara menyeluruh.

Selain itu, komite meminta agar seluruh aktivitas pembangunan di kawasan tersebut dihentikan sementara hingga proses investigasi tuntas. “Semua ini kami sampaikan demi keadilan, perlindungan masyarakat adat, dan penyelamatan sejarah serta aset daerah yang merupakan hak masyarakat Sulawesi Selatan,” tandas Idris.

Menanggapi surat masuk tersebut, Sekretaris Dewan DPRD Sulsel, M. Jabir, mengonfirmasi telah menerima aspirasi tersebut. Ia menjelaskan bahwa mekanisme RDP akan diarahkan ke komisi terkait, dalam hal ini Komisi E yang membidangi sosial budaya. Sementara itu, pihak PT GMTD hingga berita ini diturunkan belum memberikan pernyataan resmi terkait tudingan tersebut. 

Penulis

Related Articles

Back to top button