Begini 5 Rahasia Melatih Anak Punya Mental Tahan Banting Sejak Dini

Wamanews.id, 5 Juli 2025 – Masa-masa awal sekolah seringkali menjadi fase penuh pertanyaan bagi orang tua. Dari kekhawatiran akademis hingga interaksi sosial, semuanya bisa memicu kecemasan. Namun, di balik semua pertanyaan itu, ada satu kemampuan fundamental yang akan menjadi bekal terpenting anak dalam menghadapi setiap liku kehidupan: ketahanan mental.
Anak-anak yang dibekali dengan mental yang kuat, seperti yang dilansir dari CNBC Make It, menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengelola emosi mereka. Mereka cenderung lebih cepat bangkit dari kekecewaan, tidak berlama-lama meratapi kesalahan, dan mampu beradaptasi dengan perubahan.
Ini adalah keterampilan hidup esensial yang tidak hanya relevan di bangku sekolah, tetapi juga sepanjang perjalanan hidup mereka. Lantas, bagaimana orang tua bisa memupuk mental tahan banting pada anak sejak dini? Berikut adalah lima rahasia yang direkomendasikan para ahli.
1. Biarkan Anak Mengalami Kegagalan: Pembelajaran Paling Berharga
Banyak orang tua, dengan niat baik, mencoba melindungi anak dari segala bentuk kekecewaan. Namun, Dr. Ken Ginsburg, seorang profesor pediatri di Children’s Hospital of Philadelphia, memperingatkan bahwa tindakan protektif berlebihan ini justru dapat menghambat pertumbuhan dan proses belajar anak.
“Tugas orang tua adalah melindungi anak-anak mereka dan membiarkan mereka belajar dari kegagalan,” kata Dr. Ginsburg. Ia menambahkan, “Salah satu cara untuk mempersiapkan anak Anda dalam menghadapi kesulitan adalah membiarkan mereka sesekali jatuh dan bangkit kembali.” Ini adalah prinsip dasar. Kegagalan bukanlah akhir, melainkan titik awal untuk belajar, beradaptasi, dan membangun kekuatan intrinsik untuk mencoba lagi.
2. Izinkan Anak Merasa Khawatir: Mengelola, Bukan Menghilangkan
Saat anak menunjukkan tanda-tanda kecemasan, respons insting orang tua seringkali adalah mencoba menghilangkan kekhawatiran itu dengan mengatakan, “Jangan khawatir.” Namun, menurut Taryn Marie Stejskal, pendiri Resilience Leadership Institute, pendekatan ini kurang tepat. Sebaliknya, orang tua harus mengajarkan anak bagaimana menghadapi dan mengelola rasa khawatir, bukan menghindarinya.
Stejskal menyarankan sebuah teknik: “Atur pengatur waktu selama lima menit dan minta anak Anda untuk mengkhawatirkan setiap aspek kekhawatiran mereka.” Anak bahkan bisa diajak untuk menuliskannya. “Kemudian setelah waktu berakhir, minta anak untuk melepaskan kekhawatiran dan tidak lagi memikirkannya.” Dengan praktik ini, anak belajar bahwa cemas adalah emosi normal, tetapi mereka memiliki kekuatan untuk tidak membiarkannya menguasai diri.
3. Ajak Anak Memikirkan Skenario Terburuk dan Terbaik: Membangun Perspektif Realistis
Melanjutkan pemikiran Stejskal, strategi lain untuk membantu anak mengatasi rasa takut adalah dengan meminta mereka membayangkan dua kutub ekstrem: skenario terburuk dan terbaik dari situasi yang mereka hadapi.
“Hal ini dapat membantu mereka untuk merasa lebih aman karena telah menyadari bahwa hasil terburuk yang dibayangkan tidak seburuk yang diperkirakan,” jelas Stejskal.
Ini mengajarkan anak untuk tidak melebih-lebihkan potensi bahaya. “Mengingatkan anak-anak bahwa mereka mampu menangani apa pun, bahkan skenario terburuk sekalipun, dapat membantu mereka untuk sadar jika sebagian besar masalah ternyata dapat diatasi.”
Penting juga untuk mengajak anak membayangkan skenario terbaik. Ini menanamkan optimisme dan menunjukkan bahwa hasil yang diinginkan sangat mungkin tercapai, memperkuat keyakinan diri dan harapan.
4. Hargai Perkembangan Diri, Bukan Validasi Eksternal: Fondasi Harga Diri Sejati
Scott Mautz, mantan eksekutif senior di Procter & Gamble, memberikan penekanan kuat pada fokus internal. Ia menekankan pentingnya membantu anak mengalihkan perhatian dari mencari pengakuan atau validasi dari orang lain, menuju penghargaan atas perkembangan pribadi mereka sendiri.
“Bantu anak-anak Anda untuk mengukur kinerja mereka terhadap harapan pribadi daripada mencari validasi dari orang lain,” kata Mautz. Alih-alih bertanya, “Apakah saya memenuhi standar orang lain?”, dorong anak untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya mencapai apa yang ingin saya lakukan?” dan “Apakah saya menjadi versi yang lebih baik dari diri saya sendiri?” Pendekatan ini mengajarkan anak untuk memiliki standar internal, membangun rasa harga diri yang stabil dan tidak mudah tergoyahkan oleh opini eksternal.
5. Tekankan Pentingnya Proses, Bukan Hanya Hasil: Resiliensi dalam Setiap Langkah
Ketika anak memiliki tujuan, kegagalan bisa menjadi batu sandungan besar jika mereka terlalu terobsesi pada hasil akhir. Fokus berlebihan pada hasil dapat memicu ketakutan untuk mencoba dan menghambat perkembangan.
“Terlalu bersemangat tentang hasil dapat menggerogoti kekuatan mental anak-anak karena begitu banyak faktor selain usaha yang dapat memengaruhi hasil,” ujar Mautz.
Sebaliknya, orang tua harus membantu anak untuk lebih menghargai proses dan upaya yang telah dilakukan. Tanyakanlah, “Apa yang kamu pelajari dari pengalaman ini?” atau “Apakah kamu senang mencoba hal itu?” Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, anak belajar bahwa nilai sebuah pengalaman tidak hanya terletak pada hasil akhirnya, tetapi juga pada setiap upaya, pelajaran, dan keberanian untuk mencoba hal baru, bahkan jika hasilnya belum sempurna. Ini adalah esensi sejati dari mental tahan banting.
Dengan mengadopsi kelima rahasia ini, orang tua dapat membekali anak-anak mereka dengan fondasi mental yang kuat, membantu mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan sukses dalam menghadapi setiap tantangan hidup.





